Sunday 29 March 2009

Jalan Menuju Puisi

© Hawe Setiawan

SEJUMLAH teman memerlukan pengantar ke arah apresiasi puisi dalam bahasa Indonesia. Esai singkat ini mau ikut memenuhi kebutuhan itu. Di dalamnya ada petikan dari satu dua puisi karya penyair Indonesia di Jawa Barat. Petik-memetik dilakukan secara acak, sekadar mencari contoh.

Apresiasi di sini jelas berpijak pada kegiatan membaca karangan. Namun, ungkapan membaca puisi dapat mengandung dua arti: deklamasi dan membaca dalam hati. Perhatian akan ditekankan pada arti yang disebutkan belakangan.

***

Karena pijakan kita adalah kegiatan membaca, sebelum masuk ke hutan puisi mungkin ada baiknya kita melihat-lihat lagi proses mental yang lazim dialami bila kita membaca karangan, tak terkecuali puisi. Kebetulan, Wolfang Iser dalam bukunya, The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response, turut menjelaskan proses itu. Kita simak sejenak sekelumit di antara gugusan gagasan di dalamnya.

Dalam uraian Iser, kegiatan membaca tak ubahnya dengan tamasya. Mula-mula kita masuk ke dalam teks. Begitu kita membaca, keseluruhan teks tidaklah tercerap sekaligus seperti kita menenggak jamu. Pencerapan atas isi teks berlangsung perlahan-lahan atau bertahap-tahap. Arah pandangan kita pun bergerak selama kita menjalani proses membaca, seraya menyerap bagian-bagian teks yang tentu tidak lengkap, dari awal hingga akhir teks. Pada gilirannya, manakala tamat membaca, kita memadukan seluruh pencerapan kita atas isi teks selengkapnya. Barulah kemudian kita dapat menyampaikan tanggapan estetis atas teks yang kita baca.

Mudah-mudahan, kutipan itu tidak kelewat simplistis. Yang pasti, cerminan proses mental demikian setidaknya dapat mengingatkan kita bahwa ada suatu jalan tersendiri yang biasa kita lewati manakala kita hendak mengapresiasi karangan, terlebih-lebih puisi.

Di hadapan puisi, tidak mustahil kita malah pusing. Kalaupun begitu, kita tidak usah khawatir. Lagi pula, pusing bisa menjadi awal filsafat: mula-mula kita heran, lalu penasaran, kemudian melakukan pencarian. Jadi, lebih baik kita telusuri jalannya.

***

Contoh puisi mudah dicari. Misalkan, dari koleksi puisi Jalan Menuju Rumahmu karya Acep Zamzam Noor kita petik puisi berikut ini:




Bahasa Langit
         Acep Zamzam Noor

Bernyanyilah dalam getar bunga-bunga
Atau duduk saja menghikmati malam
Mungkin angin akan datang menengokmu dengan kecemasan

Tapi yang ingin diucapkannya
Adalah nyanyian yang terpendam tahun-tahunmu

Bernyanyilah dalam selimut batu-batu
Atau mengembara dalam hujan kata-katanya
Sebab langit yang turun adalah sahabat bumi
Yang menyiram kebun-kebun asuhannya. Itulah bahasa
Tapi matamu telah buta membacanya.

1984


Mari kita baca puisi ini mulai dari judulnya hingga lariknya yang penghabisan. Cobalah baca sekali lagi puisi pendek ini. Abaikan dulu urusan makna, arti, atau hal-hal lain semacam itu (kalau memang kita pikir bahwa urusan itu perlu atau dapat digali dari puisi). Mungkin lebih baik kita ulangi membacanya: bernyanyilah dalam getar bunga-bunga... dan seterusnya. Tidakkah kita dapat merasakan sesuatu? Tidakkah kita dapat merasakan, misalnya, semacam gelombang kata-kata, yang naik turun berirama? Tidakkah kita dapat merasakan, misalnya lagi, semacam tegangan di tiap-tiap ujung lariknya? Coba ulangi lagi, lagi dan lagi hingga kita dapat menangkap apa yang suka disebut metrum, musik, suasana, dsb.

Sekarang, abaikan dulu siapa penyairnya (kalau memang kita pikir bahwa jati diri penyair di balik puisi perlu diperhatikan). Yang kiranya lebih mendesak untuk kita perhatikan adalah seseorang, atau sekelumit suara, yang terdengar sedang berbicara di balik alunan kata-kata itu. Siapa dia? Siapa gerangan seseorang, atau sekelumit suara, yang dalam kritik sastra suka disebut aku-lirik (aku yang berada di balik lirik?) itu? Atau mungkin pertanyaannya lebih baik begini: seperti apakah kira-kira keberadaan diri seseorang yang sedang memperdengarkan suaranya itu? Apa dia seperti Tuhan yang sedang bersabda kepada rasul-Nya, ataukah dia seperti pencinta yang sedang berbisik kepada kekasihnya? Coba kita baca lagi hingga kita dapat berempati pada keberadaannya.

Dan ini dia soal yang tak kurang pentingnya: kepada siapa gerangan suara si aku-lirik itu dialamatkan? Siapakah kamu yang dimaksud oleh kata-kata menengokmu, tahun-tahunmu dan matamu itu? Apakah kamu dalam puisi itu seperti rasul yang sedang menerima wahyu, ataukah seperti kekasih yang sedang dibisiki oleh orang yang mengasihinya? Jangan-jangan, kitalah, pembacanya, yang hendak dituju? Malahan, sebetulnya, ada pula orang ketiga dalam puisi ini: dia sebagaimana yang tersirat dari ungkapan diucapkannya dan kata-katanya? Siapa pula dia? Coba kita rasakan apa yang terjadi sekiranya kita menjadi kamu atau dia dalam puisi itu. Ayo, baca lagi.

Ada pula urusan penting lainnya: pokok soal alias subject matter yang diangkat dalam puisi ini. Di sini kita berurusan dengan pertanyaan purba: apa kira-kira pokok soal yang sedang dibicarakan dalam puisi ini? Dalam hal ini, kita dapat menelisik lebih lanjut, misalnya, mengapa puisi ini dikasih judul “bahasa langit”, dan bagaimana judul tersebut berkaitan dengan ujaran yang terdapat dalam keseluruhan lariknya? Coba kita perhatikan, misalnya, bahwa di awal larik ada semacam ungkapan imperatif (bernyanyilah) tapi di akhir larik ada ungkapan negatif (tapi). Mengapa di satu pihak ada peneguhan tapi di pihak lain ada negasi? Apa kira-kira yang dimaksud dengan bahasa di situ? Dan apakah langit di situ?

Bahasa di situ, barangkali, sekelumit isyarat. Adapun isyarat selalu menuntut kesanggupan untuk menerjemahkan atau mengartikan apa yang diisyaratkan. Sedang langit adalah sesuatu yang tinggi, luhur, tak terjangkau. Dengan begitu, ungkapan bahasa langit terasa seperti mengandung isyarat religius. Adakah puisi ini sedang berbicara tentang sesuatu yang bersifat ilahiah? Mungkin. Setidaknya, jika judul itu kita pertautkan dengan larik-larik di bawahnya, dengan segala nada, nuansa dan suasananya, akan terasa bahwa puisi ini seakan merupakan pernyataan atau pengakuan yang khidmat tentang kehadiran sesuatu yang agung, yang turun dari ketinggian oleh kasihnya terhadap apa yang hadir di muka bumi. Kalaupun orang tidak menyadarinya, itu hanya karena matanya “telah buta”. Orang bisa saja mengabaikannya, dengan menghibur diri “dalam getar bunga-bunga” atau tak berbuat apa-apa selain “menghikmati malam”, tapi pada gilirannya hal itu hanya akan mengundang “kecemasan”. Jadi, tangkaplah “bahasa langit” sehingga apa yang lama terpendam bisa menjadi nyanyi.

Demikianlah, pertanyaan-pertanyaan seperti itu niscaya timbul selama kita membaca puisi ini. Adapun jawaban-jawaban yang kita dapatkan pada gilirannya akan menentukan pencerapan kita atas puisi ini secara menyeluruh. Lain pembaca, niscaya lain pula tanggapannya.

Pertanyaan-pertanyaan seperti yang muncul sewaktu kita membaca “Bahasa Langit”, juga bisa timbul ketika kita membaca puisi-puisi lainnya. Sekarang, dari antologi puisi Muktamar, kita petik puisi “Sungai Batu” karya Nenden Lilis Aisyah sebagai berikut:

Sungai Batu
          Nenden Lilis Aisyah

aku tak memiliki apa-apa dalam tubuhku
tapi para petani menugarnya seakan tubuhku tanah
kami akan menanam benih, seru mereka

kau pun datang, begitu saja melinggis dadaku
aku haus tedas darah, desahmu

aku katakan padamu
di dadaku tinggal sungai kering berbatu
tak ada lagi yang mengalir

batu? batu pun tak apa-apa
tiba-tiba kau dan petani-petani itu berebut
“yang kita butuhkan sekarang memang batu!”

batu, satu-satunya milikku yang tersisa
mereka ambil

2000


Misalkan, kita telah melewati proses “tamasya” selama membaca puisi ini sebagaimana yang kita alami sewaktu membaca puisi sebelumnya. Misalkan lagi, dari proses tersebut, kita mencatat beberapa hal. Pertama, suara yang diperdengarkan dalam puisi ini berasal dari aku-lirik yang menegaskan dirinya sebagai aku. Kekecualian hanya terdapat pada larik pertama dan ketiga bait keempat ("batu? batu pun tak apa-apa" dan “yang kita butuhkan sekarang memang batu!”) yang berasal dari kau. Kedua, nada puisi ini terasa depresif, seperti suara korban aniaya. Ketiga, lewat majas sungai batu dan ungkapan-ungkapan lain yang relevan dengannya, puisi ini mengangkat subject matter berupa pernyataan diri yang teraniaya sedemikian rupa sehingga tidak ada sedikit pun miliknya yang tersisa. Diri itu diibaratkan dengan sungai batu, jalan air yang tak lagi basah melainkan sudah kering kerontang, yang bahkan bebatuannya pun terjarah. Puisi ini, dengan demikian, terdengar sebagai gugatan.

***

Lebih kurang, seperti itulah kita membaca puisi. Hanya perlu segera ditambahkan bahwa tidak semua puisi dimaksudkan untuk menyampaikan “pesan”. Mungkin lebih tepat jika kita mengatakan bahwa tidak selalu kita perlu atau dapat menggali “pesan” dari puisi. Kalaupun “pesan” itu ada, setiap puisi rasanya berbicara dalam konteks puitiknya sendiri. Bukankah kita mengenal, misalnya, puisi tersendiri yang disebut mantra atau puisi yang isinya semacam “sampiran” semata? Yang pasti, setiap puisi merupakan bentuk yang utuh menyeluruh. Ia membentuk dunianya sendiri.

Hal itu antara lain terasa dari olah bahasa di dalamnya. Dalam hal ini antara lain dapat dicatat bahwa setiap penyair menemukan kosakatanya sendiri. Dari jerih payahnya mengolah bahasa, penyair menemukan idiom-idiom yang menjadi ciri khas karya-karyanya. Idiom-idiom itu dapat dipungut dari berbagai tempat di sekitar sang penyair: alam raya, lingkungan sosial, dsb.
Jika kita kembali kepada contoh “Bahasa Langit”, tampak bahwa baik judul maupun larik-lariknya kaya dengan metafora. Adapun metafora adalah sebentuk gaya ungkapan yang mensenyawakan dua hal atau lebih yang lazimnya dilihat sebagai hal-ihwal yang kategorinya terpisah. Dalam komunikasi sehari-hari kita pun sering memakainya, misalnya buah pikiran (buah adalah bagian dari pohon, sedangkan pikiran adalah bagian dari kesadaran manusia).

Metafora yang diolah oleh Acep dalam puisi ini pada umumnya mensenyawakan gejala sosial dengan gejala alam: bahasa langit, angin datang menengokmu, hujan kata-katanya, sahabat bumi, dan kebun-kebun asuhannya. Metafora bahasa langit, misalnya, terbentuk dengan mensenyawakan kata bahasa dari gejala sosial dengan langit dari gejala alam. Sedangkan pasangan kata yang membentuk metafora selimut batu-batu memang sama-sama berasal dari kategori benda mati, tapi salah satu di antaranya (selimut) rasanya lebih dekat kepada kultur ketimbang kepada natur, sehingga kata itu melekat pada gejala sosial pula.

Jika “Bahasa Langit” sarat metafora, “Sungai Batu” kaya dengan simile. Adapun simile merupakan gaya ungkapan yang membandingkan atau mempertautkan dua hal yang lazimnya terpisah. Biasanya, ungkapan ini bahkan menggunakan bagai, seperti, laksana, bak, dsb. Judul puisi Nenden sesungguhnya menyiratkan simile: “[aku seperti] sungai batu.” Idiom-idiomnya sendiri, sebagaimana yang kita lihat pada puisi sebelumnya, dipungut dari alam. Namun, barangkali sebagai ciri khasnya sendiri, Nenden secara terampil mengolahnya menjadi beberapa varian simile: “seakan tubuhku tanah” [dengan kata lain, “tubuhku” diperlakukan seperti “tanah”], “di dadaku tinggal sungai kering berbatu” [dengan kata lain, “di dadaku” hanya ada sesuatu yang bagaikan “sungai kering berbatu”]. Pada pencapaiannya yang menonjol, ia bahkan menemukan ungkapan “melinggis dadaku” [kata kerja melinggis yang jarang kita temukan dalam perbincangan sehari-hari, tentu, berasal dari kata benda linggis].

Yang menarik dari gejala linguistik seperti itu adalah semacam perbedaan antara puisi dan tindak bicara dalam komunikasi sehari-hari. Dalam komunikasi sehari-hari kita cenderung hanya memakai ungkapan, sedangkan dalam berpuisi kita cenderung menciptakan ungkapan. Seringkali idiom-idiom yang sudah lazim dalam komunikasi sehari-hari diolah lagi oleh penyair untuk menimbulkan efek puitis yang dikehendaki.

Dari gejala yang sama kita juga dapat melihat bahwa kata-kata dalam puisi tak ubahnya dengan citraan-citraan dalam lukisan atau bunyi-bunyi dalam musik. Ketika kata langit dipertemukan dengan bahasa hingga menjadi bahasa langit, misalnya, langit di situ bukan lagi langit yang hendak mengacu pada apa yang dipikirkan oleh Pak Didi ketika dia menatap angkasa dari Jalan Setiabudi. Langit dalam puisi cenderung mengacu pada tata komposisi puisi itu sendiri.

***

Kira-kira seperti itulah hutan puisi. Jalan menuju ke sana dapat ditempuh dari berbagai arah. Saya sendiri, rasanya, hanya menunjukkan salah satu di antaranya. Mari!***

(Tulisan ini semula merupakan pengantar diskusi apresiasi sastra yang diselenggarakan oleh Komunitas Sastra Tionghoa Indonesia, di Bandung, Minggu, 29 Maret 2009)

Sunday 8 March 2009

Write it from Your True Self

Book Review
If You Want to Write by Brenda Ueland 
(Graywolf Press, 1987, 2nd Ed.), paperback, 179 pages.

©Hawe Setiawan

I believe that this book is written with a good will. Brenda Ueland (1891-1985) tries to encourage her readers that they are all talented, original and have something important to say.

This book about the art of writing doesn’t emphasize its subject on technical matter. It is a book, as its subtitle says, about art, independence and spirit. Ms. Ueland tells about the way to find out your self ----your true self.

There is wisdom inside. It is based on her own experience as a long-time teacher of writing. Examples from the work of her pupils are quoted. One of them can make you realize that it is even better than the works of some well-known or professional writers.

The book was first published in 1938. A well-known writer called this book ‘the best book ever written about how to write’. It seems that this classic on writing and creative process is still read by many people who would like to improve their writing capability.

I myself read it enthusiastically. When I have finished reading this book, I realized that writing could become an ethical preference. When we write something we know and feel, we try to discover our true and honest self.

“When you get down to your True self and speak from that, there is always a metamorphosis in your writing, a transfiguration,” Ms. Ueland says.

This book consists of eighteen chapters. Each chapter is short (some eight or twelve pages), simple and jargon free. Reading this book is like taking Ueland’s class of writing in which we are treated personally.

At the end of the last chapter, Ms. Ueland sums up her subjects. There are twelve points to be noted: (1) know that you have talent, are original and have something important to say; (2) know that it is good to work with love and think of liking it when you do it; (3) write freely, recklessly in firs drafts; (4) tackle anything you want to---novels, plays, anything. (5) don’t be afraid of writing bad stories; (6) don’t fret or be ashamed of what you have written in the past; (7) try to discover your true, honest, untheoretical self; (8) don’t think of yourself as an intestinal tract and tangle of nerves in the skull, that will not work unless you drink coffee; (9) if you are never satisfied with what you write, that is a good sign; (10) don’t be discouraged; (11) don’t be afraid of your self when you write; (12) don’t always be appraising yourself, wondering if you are better or worse than other writers.

Students who want to read this book can make contact with me. It is available at my small private library. Please come (and don’t forget to return it when you have finished reading).

Monday 2 March 2009

Choosing Your Own Topic

Prose 2, Week 2

Hawe Setiawan

Dear friends,

The first step to be taken in essay writing is choosing your own topic. It must be specific. Any topic, which is too general, will bore you and your readers. Make it distinct. You need also to be keenly interested in the aspect of the subject you have already chosen. It is supposed to come out of your very self.

Tomorrow we will find out what your topics are. I would like to assist you all in defining your subjects to be written on paper. I think it will be better to formulate the subjects in the form of a question.

If you don’t mind, please come to our classroom with a blank card or sheet of paper. Each one of you all will be asked to writes down the subject of your essays to be composed.

Let us see.

Sunday 1 March 2009

Appreciating 'The Storm'

Prose Appreciation, Week 2

Hawe Setiawan

Dear Friends,

We are going to discuss 'The Storm', a short story by Kate Chopin (1851-1904). You can read the story by visiting the site below: 

http://classiclit.about.com/library/bl-etexts/kchopin/bl-kchop-thestorm.htm 

An Indonesian version of the story will be available at our classroom tomorrow. Yet I suggest that we read the original text first. 

The class will be divided into some groups. Each of the groups will be asked to make a comment on the complexity of the story due to its characters, plot, setting, etc. 

Happy reading, class. Good luck! 

 

Saturday 28 February 2009

A Comment on Dee’s ‘Peluk’

© Paren Deka Putra
English Department

If someone asks me why do I read a literary work, it is to broaden and enrich my knowledge. In my opinion, the most important thing to make our life brighter and more meaningful for others is enriching our knowledge. Besides, I would like to know and understand this lovely world along with its complexity by embracing other people’s point of views.

I read the other day Rectoverso, one of Dewi Lestari’s literary works. It is a collection of short stories accompanied by a music album. In this book, Dee presents some eleven short stories.

One of the short stories mentioned above is entitled ‘Peluk’. Due to Mr. Setiawan instruction, I am trying to express my comment on the work as a short story. Yet the melody is touching, and it seems that reading the short story will be meaningless if we do not hear the music.

In the short story, Dee describes a situation where the character found that her heart was not flowing to the same way anymore. The protagonist found that she and her partner were not in love as much as before. Here was the problem began. The woman felt, realized, and understood the signs, but her partner didn’t.

That is why when she decided to finish the relationship her partner did not get it. Her partner asked why, but she could answer nothing but gave her a hug. And this lovely, memorable, and last hug and answered the entire question.

This story is told from a first person point of view. The character is an adult that has already understood how she feels and what she wants.

When I finished reading this story, I was amazed of how brilliant this literary work was. It consists of meaningful sentences composed with lovely and powerful words. Dee has a goal, and I think the goal is to make us realize and understand that there is a kind of personal world.

Dee draws us into a situation where we should understand other people by how and what they feel. She tells us that love is just like water flowing in a river. We have nothing to control it. So one day if we realize that it is not flowing to the same way, we have to stop for the sake of love itself. Besides, we have to do that for our own personal development. ***

Thursday 26 February 2009

Belajar kepada Klein

Jurnalisme Sastra, Minggu 1

Hawe Setiawan

Naomi Klein mendapatkan Hadiah Warwick senilai 50.000 foundsterling atas bukunya, The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism (2007). Ia merupakan penulis pertama yang diberi hadiah buku dua tahunan dari Warwick University itu.

Juri hadiah itu, seperti dikutip dalam situs warta The Guardian, menilai karya Klein sebagai “investigasi tertulis yang cemerlang, provokatif dan luar biasa mengenai sejumlah kegemparan dahsyat pada zaman kita”.

Klein dikenal sebagai jurnalis, pengarang dan pembuat film. Ia menulis karya jurnalistiknya antara lain untuk suratkabar The Nation dan The Guardian serta majalah Harper’s. Pernah ia membuat film dokumenter mengenai pabrik-pabrik di Argentina. Bukunya yang pertama, No Logo: Taking Aim at Brand Bullies, diterjemahkan ke dalam 28 bahasa. Dari University of King’s College, ia mendapatkan gelar doktor honoris causa di bidang Hukum Sipil.

“Saya mulai meneliti ketergantungan pasar bebas pada kekuatan kejutan empat tahun lalu, dalam hari-hari pertama pendudukan atas Irak. Setelah melaporkan kejadian dari Bagdad mengenai upaya Washington yang gagal untuk mengiringi Kejutan dan Guncangan dengan terapi kejut, saya pergi ke Sri Lanka, beberapa bulan setelah tsunami tahun 2004 yang menimbulkan kehancuran besar itu, dan menyaksikan versi lain dari manuver yang sama: para investor asing dan pengelola lembaga keuangan internasional bergabung untuk memanfaatkan suasana bencana buat mengalihtangankan kawasan pesisir yang indah itu kepada para pengusaha yang segera membangun tempat-tempat peristirahatan mentereng, menghalangi ratusan ribu nelayan yang ingin membangun kembali desa mereka di tepi laut. ‘Dalam pusaran nasib yang berat, alam memberi Sri Lanka kesempatan unik, dan dari tragedi besar ini akan muncul tempat tujuan wisata bertarap dunia,’ demikian pernyataan pemerintah Sri Lanka. Pada waktu Badai Katrina menerpa New Orleans, dan para politisi kubu Republik, perumus kebijakan serta developer bangunan mulai bicara tentang ‘lembaran bersih’ dan peluang menawan, terlihat benar bahwa inilah saatnya bagi metode terpilih dalam pengembangan tujuan-tujuan perusahaan: memanfaatkan saat-saat trauma kolektif untuk melancarkan rekayasa sosial dan ekonomi yang radikal,” tutur Klein dalam The Shock Doctrine.

Begitulah, pada gilirannya, laporan jurnalistik Klein menjadi gugatan tersendiri atas janggalnya tata ekonomi dan sosial dunia dewasa ini. Dalam laporannya terlihat bahwa para penguasa politik dan pengendali ekonomi ---dalam pepatah Melayu--- memancing di air keruh, mencari-cari kesempatan dalam kesempitan. Penderitaan sesama manusia, yang timbul dalam serangkaian bencara besar, sesungguhnya tidak ditolong, tapi justru malah dibisniskan. Inilah, kiranya, yang oleh Klein disebut “kapitalisme bencana” (disaster capitalism).

Buat siapa saja yang mempelajari jurnalisme, tak terkecuali jurnalisme sastra, paling sedikit ada tiga pelajaran penting dari keberhasilan Klein. Pertama, untuk mendapatkan topik jurnalistik, ia mengadakan penyelidikan di lapangan selama sekian tahun. Ia masuk ke daerah-daerah bencana, mewawancarai para korban dan orang-orang lain yang kegiatannya terpaut pada tindakan kolektif pascabencana. Kedua, jelas ia piawai menuliskan hasil-hasil investigasinya, sepiawai sastrawan menulis novel, dengan wawasan keilmuan yang sangat luas, sikap kritis yang amat tajam dan simpati kemanusiaan yang terpelihara. Ketiga, karya jurnalistiknya dapat menggugah kesadaran dan pikiran banyak orang karena mampu memperlihatkan hal-ihwal yang janggal pada tatanan global, dan karena itu mampu mendorong upaya-upaya untuk memperbaiki kehidupan sesama manusia.***

Wednesday 25 February 2009

Teman Baru dari UIN

Hawe Setiawan

Teman-teman,

Kita mendapat teman-teman baru dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Kebetulan, dalam semester ini, saya mendapat tugas menjadi dosen tamu di Fakultas Da'wah, Jurusan Jurnalistik. Mata kuliah yang saya bawakan adalah Jurnalisme Sastra (Literary Journalism).

Kalau dipikir-pikir, materi yang dipelajari oleh teman-teman UIN dalam mata kuliah tersebut sangat erat terpaut pada materi yang dipelajari oleh teman-teman Unpas, terutama dalam mata kuliah prosa dan penulisan untuk publikasi. Karena itu, saya sangat berharap, di antara teman-teman Unpas dan teman-teman UIN akan ada komunikasi lintas kampus. Pasti menyenangkan jika bisa belajar bersama di bidang sastra dan jurnalisme.*** 


Monday 23 February 2009

Sebelum Esai

Prose 2, Week 2

Hawe Setiawan

APA itu esai (essay)?

Istilahnya sih populer. Di kampus, istilah ini populer banget, malah. Dosen paling suka deh memberikan tugas menulis esai, tapi mahasiswa sering bingung dibuatnya. Bingung dengan apa yang mesti dituliskan, bingung pula dengan bagaimana caranya menulis. Itu sih sudah pasti. Yang tak kurang membingungkannya, itu dia: apa sih sebetulnya yang dimaksud dengan esai? Istilahnya memang populer, tapi artinya tak mudah ditangkap, kayak selebritis yang sombong.

Memang, tidak perlu kita memperumit diri sendiri dengan definisi, apalagi definisi tentang sesuatu yang sudah kita kenal baik. Tak bisa membuat definisi belum tentu berarti tak kenal pada barang yang harus didefinisikan. Lagi pula, hari gini ngurus definisi. Capek deh. Bayangkan, sukar banget kalau kita harus mendefinisikan apa yang dimaksud dengan daun, misalnya. Tiap-tiap orang di antara kita pasti punya definisi sendiri, dan satu sama lain boleh jadi tidak kompak. Tapi itu tidak berarti kita tidak kenal daun, kan?

Sayangnya, esai tidak seperti daun. Setidaknya, buat teman-teman yang belum terbiasa menulis, atau belum begitu suka membaca (masak sih?), apa yang disebut esai boleh jadi masih seperti hantu atau jin. Terasa ada, terlihat tidak. Kayak apa sih barangnya? Nah, itu sebabnya, itung-itung pemanasan sebelum kita sama-sama berlatih menulis esai, kita cari tahu dulu yuk, apa sih yang biasanya dipikirkan orang tentang esai.

Ke mana mencari definisi? Yang paling mudah, tentu saja, ke dalam kamus istilah. Karena kamus istilah sastra banyak banget, kita ambil saja salah satu di antaranya yang menurut kita kayaknya cukup representatif. Ayo, cari sana, di perpustakaan?

“Nggak ada, Pak. Skripsi melulu.”

Ya, sudah. Di tempat saya kebetulan ada A Glossary of Literary Terms susunan M.H. Abrams (Edisi Ketujuh, Heinle & Heinle, 1999). Eh, ngomong-ngomong, sering dengar nama Abrams, kan?

“Baru denger, Pak. Siapa sih?”

Waduh, untung Pak Teeuw tinggal jauh di Belanda, sudah sepuh pula. Untung Pak Pradopo menemani Mbak Sri di Yogyakarta. Coba, kalau Bapak-Bapak itu tahu bahwa teman-teman baru dengar nama Abrams, wah, bisa berabe nih.

“Udah, Pak. Jangan nakut-nakutin. Terangin aja.”

Begini. Setahu saya, Kakek Abrams itu salah seorang ahli sastra yang dulu mengajar di Cornell University, Amerika Serikat. Salah satu bukunya yang tersohor berjudul The Mirror and the Lamp (1953). Buku Glossary itu tadi pertama kali terbit pada 1957. Memang jadul banget sih, tapi sampai sekarang kayaknya itu Glossary masih sering dijadikan rujukan. Buktinya, buku itu terus dicetak ulang (tentu saja, dengan penambahan serangkaian entri baru dari tim penulis yang menanganinya). Nah, dalam urusan esai, kita merujuk ke situ saja, ya.

“[Esai adalah] segala karangan singkat dalam bentuk prosa yang dibuat untuk membahas suatu masalah, mengungkapkan suatu sudut pandang, meyakinkan kita agar menerima suatu tesis mengenai pokok bahasan apa saja, atau sekadar menghibur. Esai berbeda dengan ‘risalah’ atau ‘disertasi’ dalam arti tidak begitu dimaksudkan untuk menjadi pemaparan yang sistematis dan lengkap, dan lebih cenderung ditujukan kepada khalayak umum daripada kalangan terbatas; sebagai konsekuensinya, esai membahas masalahnya dengan cara nonteknis, dan seringkali secara leluasa menggunakan berbagai perangkat karangan seperti anekdot, ilustrasi mencolok, dan humor untuk menambah daya tariknya,” begitu antara lain yang diterangkan dalam Glossary (hal. 82).

[to be continued]

Membaca Sastra

Prose Appreciation, Week 2

Hawe Setiawan

Teman-teman,

Pekan ini kita akan berkenalan dengan Wolfgang Iser (1926-2007).

Kok kenalan? Orangnya kan sudah wafat. Tentu saja, kita akan berkenalan dengan hantunya. Tapi jangan takut. Hantu di sini bukan sembarang hantu, tapi “hantu” pemikiran. Pemikiran kan suka gentayangan kayak hantu. Orang yang mencetuskan pemikiran boleh saja mati, tapi pemikiran yang dia tinggalkan kayaknya akan tetap hidup sepanjang masa. Wah.

Tidak semuanya yang akan kita cari tahu. Kita hanya akan berkenalan dengan sekelumit pemikirannya tentang tindak membaca (act of reading).

Iser itu orang Jerman. Dia dikenal sebagai ahli sastra. Dalam studi sastra dia terkenal antara lain gara-gara pemikirannya yang suka disebut teori tanggapan pembaca (reader-response theory). Biasanya, dia juga ditempatkan dalam rumpun pemikiran sastra yang mengandalkan pendekatan fenomenologis. Adapun fenomenologi ---sederhananya--- adalah pemikiran filosofis yang menelaah cara hal-ihwal di sekeliling kita memasuki kesadaran kita. (Embahnya fenomenologi adalah Edmund Husserl [1859-1938], juga orang Jerman. Tapi jangan khawatir. Kita tidak akan tersesat ke hutan filsafat meski jalan-jalan ke sana asyik juga, sebetulnya).

Iser, tentu saja, menulis dalam bahasa Jerman. Namun, ada satu-dua bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Salah satu bukunya yang akan kita baca di sini berjudul The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response. Dalam versi aslinya, buku ini berjudul Der Akt des Lesens: Theorie Aesthetischer Wirkung, dan terbit pada 1976. (Pasti waktu itu teman-teman belum lahir. Buku ini jadul juga, ya).

Kita perlu membaca buku karya Engkong Iser supaya kita lebih paham dengan seluk beluk proses membaca karya sastra. Kita kan mau belajar apresiasi sastra. Mustahil dong kita terampil mengapresiasi karya sastra jika kita malas membaca. Pokoknya, novel, cerpen dan puisi perlu dibaca----buku Iser, juga.

OK, kita mulai dengan melihat, bagaimana sih Iser memahami pentingnya kegiatan membaca?

Dalam pengantar buku itu dia bilang, “Karena teks sastra hanya dapat menimbulkan tanggapan ketika teks itu dibaca, sepertinya mustahil kita menjelaskan tanggapan itu jika kita tidak menganalisis proses membaca. Karena itu, kegiatan membaca merupakan titik tolak studi ini, sebab dalam kegiatan membaca berlangsung seluruh rantai kegiatan yang bergantung baik pada teks maupun pada penerapan aspek-aspek tertentu pada diri manusia. Efek dan tanggapan tidaklah melekat pada teks maupun pada diri pembaca; teks hanya mengajukan efek potensial yang baru akan terwujud dalam proses membaca.”

Jangan bingung dulu. Rileks saja. Kalau kita sederhanakan, Iser mengajak kita untuk menganalisis proses membaca karya sastra. Bagaimana sih proses itu berlangsung? Kok bisa timbul efek dan tanggapan dalam diri pembaca ketika dia membaca karya sastra? Kayaknya, begitu.

Pertanyaan itu kita tunda dulu. Sekarang kita perhatikan bahwa tanggapan pembaca yang ditelaah oleh Iser disebut “tanggapan estetis” (aesthetic response). Itu sebabnya, teorinya pun dia sebut “teori tanggapan estetis” alias theory of aesthetic response. Istilah dari sononya, Wirkungstheorie. Yang menarik, teori Wirkung ini dia bedakan dengan teori sejenis yang disebut “teori resepsi estetis” alias theory of aesthetic reception alias Rezeptionstheorie.

Di mana bedanya Si Wirkung dan Si Rezeption? Kenapa nggak kompak?

Untuk menjawab soal itu, agaknya kita harus kembali lagi ke soal teks tadi. Menurut Iser, karena studi sastra pada dasarnya memperhatikan teks, sudah pasti dong apa yang berlangsung melalui teks itu pentingnya bukan main. Harap dicatat, Iser beranggapan bahwa karya sastra sebaiknya tidak dipandang sebagai catatan dokumenter mengenai sesuatu yang ada atau pernah ada. Karya sastra, katanya, sebaiknya dipandang sebagai “reformulasi mengenai realitas yang sudah terformulasi”.

Dengan kata lain, dalam pandangannya, karya sastra pada dasarnya merupakan upaya membentuk kembali kenyataan yang sudah punya bentuk. Taruhlah bahwa apa yang disebut “realitas” alias kenyataan itu sudah punya bentuk. Nah, karya sastra tidak merekam atau mencatat kenyataan itu begitu saja, tetapi mengolah kembali kenyataan sehingga kenyataan itu mendapatkan semacam bentuk baru.

“Konsekuensinya,” kata Iser, “teori tanggapan estetis dihadapkan pada masalah tentang bagaimana situasi yang sejauh ini belum terformulasikan dapat diproses dan, tentu, dipahami. Adapun teori resepsi, di pihak lain, selalu memperhatikan para pembaca yang sudah ada, yang reaksinya membuktikan pengalaman sastra tertentu yang sudah terkondisikan secara historis. Teori tanggapan berakar pada teks; sedangkan teori resepsi timbul dari sejarah penilaian para pembaca.”

Kayaknya, perbedaan antara teori tanggapan estetis dan teori resepsi estetis terletak pada pusat perhatiannya. Sederhananya, teori tanggapan estetis memperhatikan proses membaca karya sastra. Sedangkan teori resepsi estetis memperhatikan penilaian para pembaca yang telah membaca karya sastra. (Setidaknya, begitu kira-kira yang saya pahami. Teman-teman, tentu, bisa lain lagi pemahamannya).

Kalau begitu, urusan kita pekan ini adalah proses membaca karya sastra. Di sini kita kembali ke pertanyaan tadi: kayak apa sih proses membaca itu?

Di sinilah kita menghadapi soal pelik, sepelik yang dihadapi Iser sendiri. Pelik bagaimana? Ya, tentu saja, pelik bukan main kalau kita harus memaparkan tahap demi tahap yang dilalui orang yang sedang membaca karya sastra. Itu sama dengan memasuki relung-relung kesadaran manusia. (Mending kalau manusianya memang sadar. Coba kalau dia tidak sadar. Makin pelik, kan?)

Soal pertama yang bikin pelik tidak lain dari barang yang kita sebut teks itu sendiri. Ketika kita menghadapi sesusun teks, tidak mungkin kita dapat menyerap keseluruhan isinya pada saat itu juga. Situasinya agak berbeda dengan situasi ketika kita menghadapi suatu benda, misalnya sebongkah batu. Ketika kita melihat sebongkah batu, biasanya seketika kita dapat melihat ---atau setidak-tidaknya memikirkan--- keseluruhan wujudnya. Kalau kita melihat batu berarti kita berada di luar batu itu. Diri kita terpisah dari sang batu. Sedangkan kalau kita mambaca teks, sesungguhnya kita berada di dalam teks itu. Kita masuk ke dalam teks itu.

“Dengan demikian,” masih kata Iser, “relasi antara teks and pembaca tidak seperti relasi antara objek dan pengamat: ketimbang menjadi relasi subjek-objek, yang timbul adalah titik pandang yang bergerak, menelusuri bentangan di dalamnya, yang mesti dipahami.”

Ada lagi hal lain yang tak kurang peliknya: teks sastra tidak semata-mata mengacu kepada hal-ihwal (atau objek) yang sudah tersedia secara empiris. Memang, bisa saja teks sastra mengangkat hal-ihwal yang terdapat dalam dunia pengalaman manusia (alias dunia empiris), tapi sesungguhnya hal-ihwal tersebut mengalami semacam transformasi dalam teks sastra. Batu dalam sajak Sapardi, misalnya, sebetulnya tidak sungguh-sungguh dapat dibandingkan dengan batu di halaman kampus Unpas. Batu puitis bukan lagi batu denotatif---katakanlah, begitu. Jadi, kalau kita menemukan batu dalam puisi, kita tidak lagi berususan dengan apakah pelukisan batu itu seakurat batu di halaman kampus. Batu dalam puisi seakan-akan harus kita ciptakan sendiri dalam benak kita.

Lantas bagaimana dengan “titik pandang yang bergerak” (moving viewpoint) itu? Sederhananya, lagi-lagi, itu berkaitan dengan proses itu sendiri. Kata proses menyiratkan perjalanan waktu, dari satu titik ke titik lain, beringsut dari detik ke detik. Karena membaca merupakan proses, maka pandangan kita terhadap yang ada dalam teks juga bergerak. Dari kalimat ke kalimat, dari paragraf ke paragraf, dari bab ke bab, pandangan kita terus bergerak. Persis kayak tamasya.

Apa yang penting dicatat dalam proses seperti itu adalah upaya kita melakukan “sintesis” atas rincian teks yang secara bertahap kita cerap. Iser menyebutnya synthetizing process, yakni proses menyambungkan rincian demi rincian isi teks yang kita baca, sedemikian rupa sehingga pemahaman kita atas teks itu menjadi menyeluruh.

Dalam urusan inilah fenomenologi jadi penting. Iser sendiri menyebut uraiannya mengenai soal ini sebagai “fenomenologi kegiatan membaca” (phenomenology of reading).

OK, teman-teman, sekian dulu. Selebihnya, soal ini sebaiknya kita diskusikan di kampus.***

Friday 20 February 2009

A Fascinating Prose

By Deasy Ariyanti

Some people maybe do not know what prose is and how its form and type look like. For students at letters faculty, maybe it wouldn’t be so hard to understand or explain the definition, structure and differences among different literary works. Here I am trying to explain my understanding on prose as a literary genre.

Prose literally means “straight-away-directly”. Prose is something that shows a beautiful way to write or read, actually. In my opinion, prose is one of literary products that easier to be understood, even though it has some differences with other literary products but it has something interesting that makes it fascinating.

For instance, there are so many literary works, but we could divide it into two major categories: prose and poetry. Literary works, including prose, are novel, short story, drama, comic, etc.

There are several differences between prose and poem. In my opinion, prose uses daily speech (language that used in daily activity), the form of which is clause, using denotative meaning, prosaic, and emphasize clarity. It is so different with poem. Poem uses a poetic language, its form so tight, referring to connotative meanings (figurative language or metaphor).

In analyzing prose, I use a different way. In analyzing poem we are a little bit confuse in defining the meaning. Yet prose is different. When I read a prose, for example short story, I’m not only ”just reading it”, but also trying to understand what the author means, what kind of technique she applies, what about her character, plot, narrator utterances, figurative language, world view, theme and the message or impression inside.

In analyzing poem, I need to note the figurative language (the metaphor, character limbs, the semantic and syntax or maybe furthermore. We can also consider the intertext comparison, for example in reading the poem “Nyanyian Angsa” by Rendra, we can compare his character which is named Maria Zaitun with Mary Magdalena in the bible.

Two weeks ago I analyzed a short story. The title is “Kematian Paman Gober” (The Death of Uncle Gober), and the author is Seno Gumira Ajidarma.

I read that story because it was so interesting. I think Seno makes a new prose. He said prose or fiction could be a tool to explain and demonstrate our obsession!

Seno tried to make something different: how to describe and imagine the political situation in a certain era. He said, “If journalism is banned, literature will talk”. In his work, he described the main character Paman Gober just like the president of the “New Order”.

One thing that makes me surprised is—well, I don’t know how to say it—that I am confused. Is Uncle Gober a protagonist or antagonist character? On one hand, Seno imagined Uncle Gober as an antagonist character because he made a conversation between three ducks (Kwik, Kwek and Kwak) that want him to die soon. On the other hand, Seno imagined Uncle Gober as a protagonist. We can see it from the narrator utterances that “although the ducks want him to die soon, yet they all love him. Uncle Gober has power, strength, charisma and many other things that made him to be a super power and to be frightened person among the duck country.

Seno adapted the mess political situation into an easy way to understand a kind of short story. One thing that made the story so interesting situation is that the character is a well-known person: Uncle Gober is one of the well-known characters from Walt-Disney cartoon! And he described and changed the leader of the “New Order” into a Duck! What a funny thing!

That is my opinion. ***

Wednesday 18 February 2009

Catatan Kuliah

Writing for Publication

Teman-teman yang baik,

Hari ini kita mulai kuliah 'Writing for Publication'. Dalam pertemuan kita di kelas, kita baru membicarakan rencana materi perkuliahan selama satu semester ke depan.

Buku wajib yang disarankan oleh jurusan, yakni Pokoknya Menulis () karya Pak Chaedar dan Bu Senny, saya harap dapat dibaca oleh teman-teman. Buku tersebut dapat dicari dengan langsung menghubungi Bu Senny. Dari saya sendiri, ada dua buku lain yang saya harap dapat juga dibaca oleh teman-teman, yaitu Write to Publish (1999) karangan Vin Maskell dan Gina Perry serta Everyday Editing: Inviting Students to Develop Skill and Craft in Writer's Workshop (2007) karangan Jeff Anderson. Saya sendiri menggunakan kedua buku yang disebutkan terakhir dalam bentuk e-book. Teman-teman yang ingin membaca keduanya, dapat menghubungi saya.

Dalam pertemuan kita hari ini, saya antara lain menekankan bahwa kata-kata tidak menjadi kebenaran hanya karena diterbitkan. Artikel atau esai tidak menjadi kebenaran hanya karena dimuat dalam majalah dan koran. Dengan kata lain, ada hal yang sangat penting untuk dipikirkan sebelum kita buru-buru mempublikasikan tulisan kita melalui media massa. Hal itu tidak lain daripada tulisan yang kita buat sendiri: apakah tulisan itu sudah betul-betul sesuai dengan apa yang kita kehendaki? Apakah isinya sudah akurat? Apakah style tulisan itu sudah sempurna? Dsb.

Soal kedua yang saya tekankan adalah kenyataan yang menunjukkan bahwa setiap tulisan yang dipublikasikan melalui media massa sesungguhnya merupakan hasil kegiatan kolektif. Memang, yang muncul di depan publik, dan seringkali mendapat tepuk tangan, hanyalah si penulis artikel. Namun, sesungguhnya, di balik pemuatan karya itu terdapat sejumlah orang lainnya yang telah memberikan andil yang sangat penting: sekretaris redaksi, editor, dewan redaksi, korektor, lay-out men, desainer, pegawai percetakan, dll. Selama ini boleh jadi kita kurang begitu menyadarinya. Ada baiknya sekarang kita berupaya untuk semakin menyadari hal itu. Dengan kata lain, sebagai penulis, kita sebaiknya dapat bersikap sensitif terhadap sejumlah besar orang yang akan membantu proses kreatif kita.

Baiklah, sekian dulu pembicaraan kita untuk hari ini. Selamat berkarya.

Saturday 14 February 2009

SILABUS

SYLLABUS

2009

Course Title : Prose 2
Tutor : Hawe Setiawan, MSn.
Office : Jl. Taman Kliningan II/5 Bandung 40262,
Phone/Fax: 022-7310625
Residence : Jl. Sersan Bajuri 5 Bandung 40154, Phone: 022-2004390
Mobile Phone: 081931287147
E-mail : hawesetiawan@gmail.com
Meetings : Tuesday, 07.30 – 09.10 a.m.
Location : Unpas Campus, Jl. Setiabudhi 193 Bandung 40154

Course Description
This course is intended as a further study on literary composition by taking into consideration some elements of good writing, especially essay. It is also intended as an encouragement for students in building skills to compose writing in general and essay in particular.

Objectives of the Course
This course helps students to understand and master the art and craft of writing in general and essay in particular; read literary works; organize literary blog; write essay on literary works.


Required Texts

1. Judith Woolf, Writing about Literature (2005)
2. Richard Marggraf Turley, Writing Essays: A Guide for Students in English and Humanities (2000)


Weekly Agenda

• Week One
Definition of Essay; kinds of essay; instances of essay
• Week Two
Elements of Essay
• Week Three
Planning Your Essay: choosing your own topic, formulating your fundamental questions
• Week Four
Searching for sources
• Week Five
Writing the introduction
• Week Six
Writing the middle
• Week Seven
Writing the conclusion
• Week Eight
Improving your style
• Week Nine
Broadening your vision
• Week Ten
Blogging your projects


SYLLABUS

2009

Course Title : Prose Appreciation
Tutor : Hawe Setiawan, MSn.
Office : Jl. Taman Kliningan II/5 Bandung 40262,
Phone/Fax: 022-7310625
Residence : Jl. Sersan Bajuri 5 Bandung 40154, Phone: 022-2004390
Mobile Phone: 081931287147
E-mail : hawesetiawan@gmail.com
Meetings : Tuesday, 09.10 –10.50 a.m.
Location : Unpas Campus, Jl. Setiabudhi 193 Bandung 40154

Course Description
This course is intended as an encouragement for students in building skills to read literary works and write about literature.

Objectives of the Course
This course helps students to understand the act of reading, read literary works and criticize literary works.


Required Texts

1. Wolfgang Iser, The Act of Reading
2. Peter Stockwell, Cognitive Poetics: An Introduction (2002)
3. Francine Prose, Reading Like a Writer (2006)
4. Judith Woolf, Writing about Literature (2005)


Weekly Agenda

• Week One
The Act of Reading in the Study of Literature
• Week Two
The Problem of Meaning in Literature
• Week Three
Texts and Their Contexts
• Week Four
Critical Reading and Reading the Critics
• Week Five
Background Reading
• Week Five
Researching Literary Works
• Week Six
Using Search Engine in Doing your research
• Week Seven
Using Dictionary and Encyclopedias in Literary Study
• Week Eight
Choosing your own topics for literary criticism
• Week Nine
Writing your essay on literary works

RENCANA KULIAH

Para mahasiswaku yang baik,

Selamat datang kembali ke kampus. Mudah-mudahan, masa liburan Anda menyenangkan. Saya juga mengucapkan terima kasih atas kepercayaan Anda pada saya dalam proses belajar dan mengajar selama semester ganjil yang baru saja berlalu, yakni dalam mata kuliah ‘Introduction to Literature’, ‘Introduction to Prose’ dan ‘Prose 1’.

Selain itu, saya mohon maaf sekiranya daftar nilai akhir untuk ketiga mata kuliah itu terlambat disampaikan kepada Anda, karena selama dua minggu terakhir saya terbaring sakit akibat terserang herpes. Alhamdulillah, kini saya sudah pulih lagi, dan akan memeriksa hasil ujian Anda sesegera mungkin. Saya harap, Anda dapat memaklumi hal ini.

Pada semester genap tahun ini saya ditugaskan untuk menemani Anda sekalian dalam tiga mata kuliah. Ketiga mata kuliah itu adalah:

1. Prose 2
2. Prose Appreciation
3. Writing for Publication

Khusus menyangkut mata kuliah ‘Writing for Publication’, saya ditugaskan sebagai asisten Prof. Chaedar Alwasilah. Materi yang akan saya sampaikan di kelas, tentu, akan sedikit banyak bergantung pada konsultasi dengan beliau.

Silabus perkuliahan yang telah saya susun, dapat Anda periksa di sini. Sekiranya dari silabus itu ada hal-ihwal yang membingungkan, jangan sungkan-sungkan untuk segera memberi tahu saya melalui blog ini atau melalui pertemuan kita di kampus.

Bagi teman-teman yang tertarik menekuni bidang tulis-menulis, dan ingin mempublikasikan karya yang telah dihasilkan, silakan mengirimkan file karya Anda kepada saya melalui e-mail: hawesetiawan@gmail.com.