Sunday 29 March 2009

Jalan Menuju Puisi

© Hawe Setiawan

SEJUMLAH teman memerlukan pengantar ke arah apresiasi puisi dalam bahasa Indonesia. Esai singkat ini mau ikut memenuhi kebutuhan itu. Di dalamnya ada petikan dari satu dua puisi karya penyair Indonesia di Jawa Barat. Petik-memetik dilakukan secara acak, sekadar mencari contoh.

Apresiasi di sini jelas berpijak pada kegiatan membaca karangan. Namun, ungkapan membaca puisi dapat mengandung dua arti: deklamasi dan membaca dalam hati. Perhatian akan ditekankan pada arti yang disebutkan belakangan.

***

Karena pijakan kita adalah kegiatan membaca, sebelum masuk ke hutan puisi mungkin ada baiknya kita melihat-lihat lagi proses mental yang lazim dialami bila kita membaca karangan, tak terkecuali puisi. Kebetulan, Wolfang Iser dalam bukunya, The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response, turut menjelaskan proses itu. Kita simak sejenak sekelumit di antara gugusan gagasan di dalamnya.

Dalam uraian Iser, kegiatan membaca tak ubahnya dengan tamasya. Mula-mula kita masuk ke dalam teks. Begitu kita membaca, keseluruhan teks tidaklah tercerap sekaligus seperti kita menenggak jamu. Pencerapan atas isi teks berlangsung perlahan-lahan atau bertahap-tahap. Arah pandangan kita pun bergerak selama kita menjalani proses membaca, seraya menyerap bagian-bagian teks yang tentu tidak lengkap, dari awal hingga akhir teks. Pada gilirannya, manakala tamat membaca, kita memadukan seluruh pencerapan kita atas isi teks selengkapnya. Barulah kemudian kita dapat menyampaikan tanggapan estetis atas teks yang kita baca.

Mudah-mudahan, kutipan itu tidak kelewat simplistis. Yang pasti, cerminan proses mental demikian setidaknya dapat mengingatkan kita bahwa ada suatu jalan tersendiri yang biasa kita lewati manakala kita hendak mengapresiasi karangan, terlebih-lebih puisi.

Di hadapan puisi, tidak mustahil kita malah pusing. Kalaupun begitu, kita tidak usah khawatir. Lagi pula, pusing bisa menjadi awal filsafat: mula-mula kita heran, lalu penasaran, kemudian melakukan pencarian. Jadi, lebih baik kita telusuri jalannya.

***

Contoh puisi mudah dicari. Misalkan, dari koleksi puisi Jalan Menuju Rumahmu karya Acep Zamzam Noor kita petik puisi berikut ini:




Bahasa Langit
         Acep Zamzam Noor

Bernyanyilah dalam getar bunga-bunga
Atau duduk saja menghikmati malam
Mungkin angin akan datang menengokmu dengan kecemasan

Tapi yang ingin diucapkannya
Adalah nyanyian yang terpendam tahun-tahunmu

Bernyanyilah dalam selimut batu-batu
Atau mengembara dalam hujan kata-katanya
Sebab langit yang turun adalah sahabat bumi
Yang menyiram kebun-kebun asuhannya. Itulah bahasa
Tapi matamu telah buta membacanya.

1984


Mari kita baca puisi ini mulai dari judulnya hingga lariknya yang penghabisan. Cobalah baca sekali lagi puisi pendek ini. Abaikan dulu urusan makna, arti, atau hal-hal lain semacam itu (kalau memang kita pikir bahwa urusan itu perlu atau dapat digali dari puisi). Mungkin lebih baik kita ulangi membacanya: bernyanyilah dalam getar bunga-bunga... dan seterusnya. Tidakkah kita dapat merasakan sesuatu? Tidakkah kita dapat merasakan, misalnya, semacam gelombang kata-kata, yang naik turun berirama? Tidakkah kita dapat merasakan, misalnya lagi, semacam tegangan di tiap-tiap ujung lariknya? Coba ulangi lagi, lagi dan lagi hingga kita dapat menangkap apa yang suka disebut metrum, musik, suasana, dsb.

Sekarang, abaikan dulu siapa penyairnya (kalau memang kita pikir bahwa jati diri penyair di balik puisi perlu diperhatikan). Yang kiranya lebih mendesak untuk kita perhatikan adalah seseorang, atau sekelumit suara, yang terdengar sedang berbicara di balik alunan kata-kata itu. Siapa dia? Siapa gerangan seseorang, atau sekelumit suara, yang dalam kritik sastra suka disebut aku-lirik (aku yang berada di balik lirik?) itu? Atau mungkin pertanyaannya lebih baik begini: seperti apakah kira-kira keberadaan diri seseorang yang sedang memperdengarkan suaranya itu? Apa dia seperti Tuhan yang sedang bersabda kepada rasul-Nya, ataukah dia seperti pencinta yang sedang berbisik kepada kekasihnya? Coba kita baca lagi hingga kita dapat berempati pada keberadaannya.

Dan ini dia soal yang tak kurang pentingnya: kepada siapa gerangan suara si aku-lirik itu dialamatkan? Siapakah kamu yang dimaksud oleh kata-kata menengokmu, tahun-tahunmu dan matamu itu? Apakah kamu dalam puisi itu seperti rasul yang sedang menerima wahyu, ataukah seperti kekasih yang sedang dibisiki oleh orang yang mengasihinya? Jangan-jangan, kitalah, pembacanya, yang hendak dituju? Malahan, sebetulnya, ada pula orang ketiga dalam puisi ini: dia sebagaimana yang tersirat dari ungkapan diucapkannya dan kata-katanya? Siapa pula dia? Coba kita rasakan apa yang terjadi sekiranya kita menjadi kamu atau dia dalam puisi itu. Ayo, baca lagi.

Ada pula urusan penting lainnya: pokok soal alias subject matter yang diangkat dalam puisi ini. Di sini kita berurusan dengan pertanyaan purba: apa kira-kira pokok soal yang sedang dibicarakan dalam puisi ini? Dalam hal ini, kita dapat menelisik lebih lanjut, misalnya, mengapa puisi ini dikasih judul “bahasa langit”, dan bagaimana judul tersebut berkaitan dengan ujaran yang terdapat dalam keseluruhan lariknya? Coba kita perhatikan, misalnya, bahwa di awal larik ada semacam ungkapan imperatif (bernyanyilah) tapi di akhir larik ada ungkapan negatif (tapi). Mengapa di satu pihak ada peneguhan tapi di pihak lain ada negasi? Apa kira-kira yang dimaksud dengan bahasa di situ? Dan apakah langit di situ?

Bahasa di situ, barangkali, sekelumit isyarat. Adapun isyarat selalu menuntut kesanggupan untuk menerjemahkan atau mengartikan apa yang diisyaratkan. Sedang langit adalah sesuatu yang tinggi, luhur, tak terjangkau. Dengan begitu, ungkapan bahasa langit terasa seperti mengandung isyarat religius. Adakah puisi ini sedang berbicara tentang sesuatu yang bersifat ilahiah? Mungkin. Setidaknya, jika judul itu kita pertautkan dengan larik-larik di bawahnya, dengan segala nada, nuansa dan suasananya, akan terasa bahwa puisi ini seakan merupakan pernyataan atau pengakuan yang khidmat tentang kehadiran sesuatu yang agung, yang turun dari ketinggian oleh kasihnya terhadap apa yang hadir di muka bumi. Kalaupun orang tidak menyadarinya, itu hanya karena matanya “telah buta”. Orang bisa saja mengabaikannya, dengan menghibur diri “dalam getar bunga-bunga” atau tak berbuat apa-apa selain “menghikmati malam”, tapi pada gilirannya hal itu hanya akan mengundang “kecemasan”. Jadi, tangkaplah “bahasa langit” sehingga apa yang lama terpendam bisa menjadi nyanyi.

Demikianlah, pertanyaan-pertanyaan seperti itu niscaya timbul selama kita membaca puisi ini. Adapun jawaban-jawaban yang kita dapatkan pada gilirannya akan menentukan pencerapan kita atas puisi ini secara menyeluruh. Lain pembaca, niscaya lain pula tanggapannya.

Pertanyaan-pertanyaan seperti yang muncul sewaktu kita membaca “Bahasa Langit”, juga bisa timbul ketika kita membaca puisi-puisi lainnya. Sekarang, dari antologi puisi Muktamar, kita petik puisi “Sungai Batu” karya Nenden Lilis Aisyah sebagai berikut:

Sungai Batu
          Nenden Lilis Aisyah

aku tak memiliki apa-apa dalam tubuhku
tapi para petani menugarnya seakan tubuhku tanah
kami akan menanam benih, seru mereka

kau pun datang, begitu saja melinggis dadaku
aku haus tedas darah, desahmu

aku katakan padamu
di dadaku tinggal sungai kering berbatu
tak ada lagi yang mengalir

batu? batu pun tak apa-apa
tiba-tiba kau dan petani-petani itu berebut
“yang kita butuhkan sekarang memang batu!”

batu, satu-satunya milikku yang tersisa
mereka ambil

2000


Misalkan, kita telah melewati proses “tamasya” selama membaca puisi ini sebagaimana yang kita alami sewaktu membaca puisi sebelumnya. Misalkan lagi, dari proses tersebut, kita mencatat beberapa hal. Pertama, suara yang diperdengarkan dalam puisi ini berasal dari aku-lirik yang menegaskan dirinya sebagai aku. Kekecualian hanya terdapat pada larik pertama dan ketiga bait keempat ("batu? batu pun tak apa-apa" dan “yang kita butuhkan sekarang memang batu!”) yang berasal dari kau. Kedua, nada puisi ini terasa depresif, seperti suara korban aniaya. Ketiga, lewat majas sungai batu dan ungkapan-ungkapan lain yang relevan dengannya, puisi ini mengangkat subject matter berupa pernyataan diri yang teraniaya sedemikian rupa sehingga tidak ada sedikit pun miliknya yang tersisa. Diri itu diibaratkan dengan sungai batu, jalan air yang tak lagi basah melainkan sudah kering kerontang, yang bahkan bebatuannya pun terjarah. Puisi ini, dengan demikian, terdengar sebagai gugatan.

***

Lebih kurang, seperti itulah kita membaca puisi. Hanya perlu segera ditambahkan bahwa tidak semua puisi dimaksudkan untuk menyampaikan “pesan”. Mungkin lebih tepat jika kita mengatakan bahwa tidak selalu kita perlu atau dapat menggali “pesan” dari puisi. Kalaupun “pesan” itu ada, setiap puisi rasanya berbicara dalam konteks puitiknya sendiri. Bukankah kita mengenal, misalnya, puisi tersendiri yang disebut mantra atau puisi yang isinya semacam “sampiran” semata? Yang pasti, setiap puisi merupakan bentuk yang utuh menyeluruh. Ia membentuk dunianya sendiri.

Hal itu antara lain terasa dari olah bahasa di dalamnya. Dalam hal ini antara lain dapat dicatat bahwa setiap penyair menemukan kosakatanya sendiri. Dari jerih payahnya mengolah bahasa, penyair menemukan idiom-idiom yang menjadi ciri khas karya-karyanya. Idiom-idiom itu dapat dipungut dari berbagai tempat di sekitar sang penyair: alam raya, lingkungan sosial, dsb.
Jika kita kembali kepada contoh “Bahasa Langit”, tampak bahwa baik judul maupun larik-lariknya kaya dengan metafora. Adapun metafora adalah sebentuk gaya ungkapan yang mensenyawakan dua hal atau lebih yang lazimnya dilihat sebagai hal-ihwal yang kategorinya terpisah. Dalam komunikasi sehari-hari kita pun sering memakainya, misalnya buah pikiran (buah adalah bagian dari pohon, sedangkan pikiran adalah bagian dari kesadaran manusia).

Metafora yang diolah oleh Acep dalam puisi ini pada umumnya mensenyawakan gejala sosial dengan gejala alam: bahasa langit, angin datang menengokmu, hujan kata-katanya, sahabat bumi, dan kebun-kebun asuhannya. Metafora bahasa langit, misalnya, terbentuk dengan mensenyawakan kata bahasa dari gejala sosial dengan langit dari gejala alam. Sedangkan pasangan kata yang membentuk metafora selimut batu-batu memang sama-sama berasal dari kategori benda mati, tapi salah satu di antaranya (selimut) rasanya lebih dekat kepada kultur ketimbang kepada natur, sehingga kata itu melekat pada gejala sosial pula.

Jika “Bahasa Langit” sarat metafora, “Sungai Batu” kaya dengan simile. Adapun simile merupakan gaya ungkapan yang membandingkan atau mempertautkan dua hal yang lazimnya terpisah. Biasanya, ungkapan ini bahkan menggunakan bagai, seperti, laksana, bak, dsb. Judul puisi Nenden sesungguhnya menyiratkan simile: “[aku seperti] sungai batu.” Idiom-idiomnya sendiri, sebagaimana yang kita lihat pada puisi sebelumnya, dipungut dari alam. Namun, barangkali sebagai ciri khasnya sendiri, Nenden secara terampil mengolahnya menjadi beberapa varian simile: “seakan tubuhku tanah” [dengan kata lain, “tubuhku” diperlakukan seperti “tanah”], “di dadaku tinggal sungai kering berbatu” [dengan kata lain, “di dadaku” hanya ada sesuatu yang bagaikan “sungai kering berbatu”]. Pada pencapaiannya yang menonjol, ia bahkan menemukan ungkapan “melinggis dadaku” [kata kerja melinggis yang jarang kita temukan dalam perbincangan sehari-hari, tentu, berasal dari kata benda linggis].

Yang menarik dari gejala linguistik seperti itu adalah semacam perbedaan antara puisi dan tindak bicara dalam komunikasi sehari-hari. Dalam komunikasi sehari-hari kita cenderung hanya memakai ungkapan, sedangkan dalam berpuisi kita cenderung menciptakan ungkapan. Seringkali idiom-idiom yang sudah lazim dalam komunikasi sehari-hari diolah lagi oleh penyair untuk menimbulkan efek puitis yang dikehendaki.

Dari gejala yang sama kita juga dapat melihat bahwa kata-kata dalam puisi tak ubahnya dengan citraan-citraan dalam lukisan atau bunyi-bunyi dalam musik. Ketika kata langit dipertemukan dengan bahasa hingga menjadi bahasa langit, misalnya, langit di situ bukan lagi langit yang hendak mengacu pada apa yang dipikirkan oleh Pak Didi ketika dia menatap angkasa dari Jalan Setiabudi. Langit dalam puisi cenderung mengacu pada tata komposisi puisi itu sendiri.

***

Kira-kira seperti itulah hutan puisi. Jalan menuju ke sana dapat ditempuh dari berbagai arah. Saya sendiri, rasanya, hanya menunjukkan salah satu di antaranya. Mari!***

(Tulisan ini semula merupakan pengantar diskusi apresiasi sastra yang diselenggarakan oleh Komunitas Sastra Tionghoa Indonesia, di Bandung, Minggu, 29 Maret 2009)

Sunday 8 March 2009

Write it from Your True Self

Book Review
If You Want to Write by Brenda Ueland 
(Graywolf Press, 1987, 2nd Ed.), paperback, 179 pages.

©Hawe Setiawan

I believe that this book is written with a good will. Brenda Ueland (1891-1985) tries to encourage her readers that they are all talented, original and have something important to say.

This book about the art of writing doesn’t emphasize its subject on technical matter. It is a book, as its subtitle says, about art, independence and spirit. Ms. Ueland tells about the way to find out your self ----your true self.

There is wisdom inside. It is based on her own experience as a long-time teacher of writing. Examples from the work of her pupils are quoted. One of them can make you realize that it is even better than the works of some well-known or professional writers.

The book was first published in 1938. A well-known writer called this book ‘the best book ever written about how to write’. It seems that this classic on writing and creative process is still read by many people who would like to improve their writing capability.

I myself read it enthusiastically. When I have finished reading this book, I realized that writing could become an ethical preference. When we write something we know and feel, we try to discover our true and honest self.

“When you get down to your True self and speak from that, there is always a metamorphosis in your writing, a transfiguration,” Ms. Ueland says.

This book consists of eighteen chapters. Each chapter is short (some eight or twelve pages), simple and jargon free. Reading this book is like taking Ueland’s class of writing in which we are treated personally.

At the end of the last chapter, Ms. Ueland sums up her subjects. There are twelve points to be noted: (1) know that you have talent, are original and have something important to say; (2) know that it is good to work with love and think of liking it when you do it; (3) write freely, recklessly in firs drafts; (4) tackle anything you want to---novels, plays, anything. (5) don’t be afraid of writing bad stories; (6) don’t fret or be ashamed of what you have written in the past; (7) try to discover your true, honest, untheoretical self; (8) don’t think of yourself as an intestinal tract and tangle of nerves in the skull, that will not work unless you drink coffee; (9) if you are never satisfied with what you write, that is a good sign; (10) don’t be discouraged; (11) don’t be afraid of your self when you write; (12) don’t always be appraising yourself, wondering if you are better or worse than other writers.

Students who want to read this book can make contact with me. It is available at my small private library. Please come (and don’t forget to return it when you have finished reading).