Monday, 23 February 2009

Membaca Sastra

Prose Appreciation, Week 2

Hawe Setiawan

Teman-teman,

Pekan ini kita akan berkenalan dengan Wolfgang Iser (1926-2007).

Kok kenalan? Orangnya kan sudah wafat. Tentu saja, kita akan berkenalan dengan hantunya. Tapi jangan takut. Hantu di sini bukan sembarang hantu, tapi “hantu” pemikiran. Pemikiran kan suka gentayangan kayak hantu. Orang yang mencetuskan pemikiran boleh saja mati, tapi pemikiran yang dia tinggalkan kayaknya akan tetap hidup sepanjang masa. Wah.

Tidak semuanya yang akan kita cari tahu. Kita hanya akan berkenalan dengan sekelumit pemikirannya tentang tindak membaca (act of reading).

Iser itu orang Jerman. Dia dikenal sebagai ahli sastra. Dalam studi sastra dia terkenal antara lain gara-gara pemikirannya yang suka disebut teori tanggapan pembaca (reader-response theory). Biasanya, dia juga ditempatkan dalam rumpun pemikiran sastra yang mengandalkan pendekatan fenomenologis. Adapun fenomenologi ---sederhananya--- adalah pemikiran filosofis yang menelaah cara hal-ihwal di sekeliling kita memasuki kesadaran kita. (Embahnya fenomenologi adalah Edmund Husserl [1859-1938], juga orang Jerman. Tapi jangan khawatir. Kita tidak akan tersesat ke hutan filsafat meski jalan-jalan ke sana asyik juga, sebetulnya).

Iser, tentu saja, menulis dalam bahasa Jerman. Namun, ada satu-dua bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Salah satu bukunya yang akan kita baca di sini berjudul The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response. Dalam versi aslinya, buku ini berjudul Der Akt des Lesens: Theorie Aesthetischer Wirkung, dan terbit pada 1976. (Pasti waktu itu teman-teman belum lahir. Buku ini jadul juga, ya).

Kita perlu membaca buku karya Engkong Iser supaya kita lebih paham dengan seluk beluk proses membaca karya sastra. Kita kan mau belajar apresiasi sastra. Mustahil dong kita terampil mengapresiasi karya sastra jika kita malas membaca. Pokoknya, novel, cerpen dan puisi perlu dibaca----buku Iser, juga.

OK, kita mulai dengan melihat, bagaimana sih Iser memahami pentingnya kegiatan membaca?

Dalam pengantar buku itu dia bilang, “Karena teks sastra hanya dapat menimbulkan tanggapan ketika teks itu dibaca, sepertinya mustahil kita menjelaskan tanggapan itu jika kita tidak menganalisis proses membaca. Karena itu, kegiatan membaca merupakan titik tolak studi ini, sebab dalam kegiatan membaca berlangsung seluruh rantai kegiatan yang bergantung baik pada teks maupun pada penerapan aspek-aspek tertentu pada diri manusia. Efek dan tanggapan tidaklah melekat pada teks maupun pada diri pembaca; teks hanya mengajukan efek potensial yang baru akan terwujud dalam proses membaca.”

Jangan bingung dulu. Rileks saja. Kalau kita sederhanakan, Iser mengajak kita untuk menganalisis proses membaca karya sastra. Bagaimana sih proses itu berlangsung? Kok bisa timbul efek dan tanggapan dalam diri pembaca ketika dia membaca karya sastra? Kayaknya, begitu.

Pertanyaan itu kita tunda dulu. Sekarang kita perhatikan bahwa tanggapan pembaca yang ditelaah oleh Iser disebut “tanggapan estetis” (aesthetic response). Itu sebabnya, teorinya pun dia sebut “teori tanggapan estetis” alias theory of aesthetic response. Istilah dari sononya, Wirkungstheorie. Yang menarik, teori Wirkung ini dia bedakan dengan teori sejenis yang disebut “teori resepsi estetis” alias theory of aesthetic reception alias Rezeptionstheorie.

Di mana bedanya Si Wirkung dan Si Rezeption? Kenapa nggak kompak?

Untuk menjawab soal itu, agaknya kita harus kembali lagi ke soal teks tadi. Menurut Iser, karena studi sastra pada dasarnya memperhatikan teks, sudah pasti dong apa yang berlangsung melalui teks itu pentingnya bukan main. Harap dicatat, Iser beranggapan bahwa karya sastra sebaiknya tidak dipandang sebagai catatan dokumenter mengenai sesuatu yang ada atau pernah ada. Karya sastra, katanya, sebaiknya dipandang sebagai “reformulasi mengenai realitas yang sudah terformulasi”.

Dengan kata lain, dalam pandangannya, karya sastra pada dasarnya merupakan upaya membentuk kembali kenyataan yang sudah punya bentuk. Taruhlah bahwa apa yang disebut “realitas” alias kenyataan itu sudah punya bentuk. Nah, karya sastra tidak merekam atau mencatat kenyataan itu begitu saja, tetapi mengolah kembali kenyataan sehingga kenyataan itu mendapatkan semacam bentuk baru.

“Konsekuensinya,” kata Iser, “teori tanggapan estetis dihadapkan pada masalah tentang bagaimana situasi yang sejauh ini belum terformulasikan dapat diproses dan, tentu, dipahami. Adapun teori resepsi, di pihak lain, selalu memperhatikan para pembaca yang sudah ada, yang reaksinya membuktikan pengalaman sastra tertentu yang sudah terkondisikan secara historis. Teori tanggapan berakar pada teks; sedangkan teori resepsi timbul dari sejarah penilaian para pembaca.”

Kayaknya, perbedaan antara teori tanggapan estetis dan teori resepsi estetis terletak pada pusat perhatiannya. Sederhananya, teori tanggapan estetis memperhatikan proses membaca karya sastra. Sedangkan teori resepsi estetis memperhatikan penilaian para pembaca yang telah membaca karya sastra. (Setidaknya, begitu kira-kira yang saya pahami. Teman-teman, tentu, bisa lain lagi pemahamannya).

Kalau begitu, urusan kita pekan ini adalah proses membaca karya sastra. Di sini kita kembali ke pertanyaan tadi: kayak apa sih proses membaca itu?

Di sinilah kita menghadapi soal pelik, sepelik yang dihadapi Iser sendiri. Pelik bagaimana? Ya, tentu saja, pelik bukan main kalau kita harus memaparkan tahap demi tahap yang dilalui orang yang sedang membaca karya sastra. Itu sama dengan memasuki relung-relung kesadaran manusia. (Mending kalau manusianya memang sadar. Coba kalau dia tidak sadar. Makin pelik, kan?)

Soal pertama yang bikin pelik tidak lain dari barang yang kita sebut teks itu sendiri. Ketika kita menghadapi sesusun teks, tidak mungkin kita dapat menyerap keseluruhan isinya pada saat itu juga. Situasinya agak berbeda dengan situasi ketika kita menghadapi suatu benda, misalnya sebongkah batu. Ketika kita melihat sebongkah batu, biasanya seketika kita dapat melihat ---atau setidak-tidaknya memikirkan--- keseluruhan wujudnya. Kalau kita melihat batu berarti kita berada di luar batu itu. Diri kita terpisah dari sang batu. Sedangkan kalau kita mambaca teks, sesungguhnya kita berada di dalam teks itu. Kita masuk ke dalam teks itu.

“Dengan demikian,” masih kata Iser, “relasi antara teks and pembaca tidak seperti relasi antara objek dan pengamat: ketimbang menjadi relasi subjek-objek, yang timbul adalah titik pandang yang bergerak, menelusuri bentangan di dalamnya, yang mesti dipahami.”

Ada lagi hal lain yang tak kurang peliknya: teks sastra tidak semata-mata mengacu kepada hal-ihwal (atau objek) yang sudah tersedia secara empiris. Memang, bisa saja teks sastra mengangkat hal-ihwal yang terdapat dalam dunia pengalaman manusia (alias dunia empiris), tapi sesungguhnya hal-ihwal tersebut mengalami semacam transformasi dalam teks sastra. Batu dalam sajak Sapardi, misalnya, sebetulnya tidak sungguh-sungguh dapat dibandingkan dengan batu di halaman kampus Unpas. Batu puitis bukan lagi batu denotatif---katakanlah, begitu. Jadi, kalau kita menemukan batu dalam puisi, kita tidak lagi berususan dengan apakah pelukisan batu itu seakurat batu di halaman kampus. Batu dalam puisi seakan-akan harus kita ciptakan sendiri dalam benak kita.

Lantas bagaimana dengan “titik pandang yang bergerak” (moving viewpoint) itu? Sederhananya, lagi-lagi, itu berkaitan dengan proses itu sendiri. Kata proses menyiratkan perjalanan waktu, dari satu titik ke titik lain, beringsut dari detik ke detik. Karena membaca merupakan proses, maka pandangan kita terhadap yang ada dalam teks juga bergerak. Dari kalimat ke kalimat, dari paragraf ke paragraf, dari bab ke bab, pandangan kita terus bergerak. Persis kayak tamasya.

Apa yang penting dicatat dalam proses seperti itu adalah upaya kita melakukan “sintesis” atas rincian teks yang secara bertahap kita cerap. Iser menyebutnya synthetizing process, yakni proses menyambungkan rincian demi rincian isi teks yang kita baca, sedemikian rupa sehingga pemahaman kita atas teks itu menjadi menyeluruh.

Dalam urusan inilah fenomenologi jadi penting. Iser sendiri menyebut uraiannya mengenai soal ini sebagai “fenomenologi kegiatan membaca” (phenomenology of reading).

OK, teman-teman, sekian dulu. Selebihnya, soal ini sebaiknya kita diskusikan di kampus.***

No comments:

Post a Comment