Saturday 28 February 2009

A Comment on Dee’s ‘Peluk’

© Paren Deka Putra
English Department

If someone asks me why do I read a literary work, it is to broaden and enrich my knowledge. In my opinion, the most important thing to make our life brighter and more meaningful for others is enriching our knowledge. Besides, I would like to know and understand this lovely world along with its complexity by embracing other people’s point of views.

I read the other day Rectoverso, one of Dewi Lestari’s literary works. It is a collection of short stories accompanied by a music album. In this book, Dee presents some eleven short stories.

One of the short stories mentioned above is entitled ‘Peluk’. Due to Mr. Setiawan instruction, I am trying to express my comment on the work as a short story. Yet the melody is touching, and it seems that reading the short story will be meaningless if we do not hear the music.

In the short story, Dee describes a situation where the character found that her heart was not flowing to the same way anymore. The protagonist found that she and her partner were not in love as much as before. Here was the problem began. The woman felt, realized, and understood the signs, but her partner didn’t.

That is why when she decided to finish the relationship her partner did not get it. Her partner asked why, but she could answer nothing but gave her a hug. And this lovely, memorable, and last hug and answered the entire question.

This story is told from a first person point of view. The character is an adult that has already understood how she feels and what she wants.

When I finished reading this story, I was amazed of how brilliant this literary work was. It consists of meaningful sentences composed with lovely and powerful words. Dee has a goal, and I think the goal is to make us realize and understand that there is a kind of personal world.

Dee draws us into a situation where we should understand other people by how and what they feel. She tells us that love is just like water flowing in a river. We have nothing to control it. So one day if we realize that it is not flowing to the same way, we have to stop for the sake of love itself. Besides, we have to do that for our own personal development. ***

Thursday 26 February 2009

Belajar kepada Klein

Jurnalisme Sastra, Minggu 1

Hawe Setiawan

Naomi Klein mendapatkan Hadiah Warwick senilai 50.000 foundsterling atas bukunya, The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism (2007). Ia merupakan penulis pertama yang diberi hadiah buku dua tahunan dari Warwick University itu.

Juri hadiah itu, seperti dikutip dalam situs warta The Guardian, menilai karya Klein sebagai “investigasi tertulis yang cemerlang, provokatif dan luar biasa mengenai sejumlah kegemparan dahsyat pada zaman kita”.

Klein dikenal sebagai jurnalis, pengarang dan pembuat film. Ia menulis karya jurnalistiknya antara lain untuk suratkabar The Nation dan The Guardian serta majalah Harper’s. Pernah ia membuat film dokumenter mengenai pabrik-pabrik di Argentina. Bukunya yang pertama, No Logo: Taking Aim at Brand Bullies, diterjemahkan ke dalam 28 bahasa. Dari University of King’s College, ia mendapatkan gelar doktor honoris causa di bidang Hukum Sipil.

“Saya mulai meneliti ketergantungan pasar bebas pada kekuatan kejutan empat tahun lalu, dalam hari-hari pertama pendudukan atas Irak. Setelah melaporkan kejadian dari Bagdad mengenai upaya Washington yang gagal untuk mengiringi Kejutan dan Guncangan dengan terapi kejut, saya pergi ke Sri Lanka, beberapa bulan setelah tsunami tahun 2004 yang menimbulkan kehancuran besar itu, dan menyaksikan versi lain dari manuver yang sama: para investor asing dan pengelola lembaga keuangan internasional bergabung untuk memanfaatkan suasana bencana buat mengalihtangankan kawasan pesisir yang indah itu kepada para pengusaha yang segera membangun tempat-tempat peristirahatan mentereng, menghalangi ratusan ribu nelayan yang ingin membangun kembali desa mereka di tepi laut. ‘Dalam pusaran nasib yang berat, alam memberi Sri Lanka kesempatan unik, dan dari tragedi besar ini akan muncul tempat tujuan wisata bertarap dunia,’ demikian pernyataan pemerintah Sri Lanka. Pada waktu Badai Katrina menerpa New Orleans, dan para politisi kubu Republik, perumus kebijakan serta developer bangunan mulai bicara tentang ‘lembaran bersih’ dan peluang menawan, terlihat benar bahwa inilah saatnya bagi metode terpilih dalam pengembangan tujuan-tujuan perusahaan: memanfaatkan saat-saat trauma kolektif untuk melancarkan rekayasa sosial dan ekonomi yang radikal,” tutur Klein dalam The Shock Doctrine.

Begitulah, pada gilirannya, laporan jurnalistik Klein menjadi gugatan tersendiri atas janggalnya tata ekonomi dan sosial dunia dewasa ini. Dalam laporannya terlihat bahwa para penguasa politik dan pengendali ekonomi ---dalam pepatah Melayu--- memancing di air keruh, mencari-cari kesempatan dalam kesempitan. Penderitaan sesama manusia, yang timbul dalam serangkaian bencara besar, sesungguhnya tidak ditolong, tapi justru malah dibisniskan. Inilah, kiranya, yang oleh Klein disebut “kapitalisme bencana” (disaster capitalism).

Buat siapa saja yang mempelajari jurnalisme, tak terkecuali jurnalisme sastra, paling sedikit ada tiga pelajaran penting dari keberhasilan Klein. Pertama, untuk mendapatkan topik jurnalistik, ia mengadakan penyelidikan di lapangan selama sekian tahun. Ia masuk ke daerah-daerah bencana, mewawancarai para korban dan orang-orang lain yang kegiatannya terpaut pada tindakan kolektif pascabencana. Kedua, jelas ia piawai menuliskan hasil-hasil investigasinya, sepiawai sastrawan menulis novel, dengan wawasan keilmuan yang sangat luas, sikap kritis yang amat tajam dan simpati kemanusiaan yang terpelihara. Ketiga, karya jurnalistiknya dapat menggugah kesadaran dan pikiran banyak orang karena mampu memperlihatkan hal-ihwal yang janggal pada tatanan global, dan karena itu mampu mendorong upaya-upaya untuk memperbaiki kehidupan sesama manusia.***

Wednesday 25 February 2009

Teman Baru dari UIN

Hawe Setiawan

Teman-teman,

Kita mendapat teman-teman baru dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Kebetulan, dalam semester ini, saya mendapat tugas menjadi dosen tamu di Fakultas Da'wah, Jurusan Jurnalistik. Mata kuliah yang saya bawakan adalah Jurnalisme Sastra (Literary Journalism).

Kalau dipikir-pikir, materi yang dipelajari oleh teman-teman UIN dalam mata kuliah tersebut sangat erat terpaut pada materi yang dipelajari oleh teman-teman Unpas, terutama dalam mata kuliah prosa dan penulisan untuk publikasi. Karena itu, saya sangat berharap, di antara teman-teman Unpas dan teman-teman UIN akan ada komunikasi lintas kampus. Pasti menyenangkan jika bisa belajar bersama di bidang sastra dan jurnalisme.*** 


Monday 23 February 2009

Sebelum Esai

Prose 2, Week 2

Hawe Setiawan

APA itu esai (essay)?

Istilahnya sih populer. Di kampus, istilah ini populer banget, malah. Dosen paling suka deh memberikan tugas menulis esai, tapi mahasiswa sering bingung dibuatnya. Bingung dengan apa yang mesti dituliskan, bingung pula dengan bagaimana caranya menulis. Itu sih sudah pasti. Yang tak kurang membingungkannya, itu dia: apa sih sebetulnya yang dimaksud dengan esai? Istilahnya memang populer, tapi artinya tak mudah ditangkap, kayak selebritis yang sombong.

Memang, tidak perlu kita memperumit diri sendiri dengan definisi, apalagi definisi tentang sesuatu yang sudah kita kenal baik. Tak bisa membuat definisi belum tentu berarti tak kenal pada barang yang harus didefinisikan. Lagi pula, hari gini ngurus definisi. Capek deh. Bayangkan, sukar banget kalau kita harus mendefinisikan apa yang dimaksud dengan daun, misalnya. Tiap-tiap orang di antara kita pasti punya definisi sendiri, dan satu sama lain boleh jadi tidak kompak. Tapi itu tidak berarti kita tidak kenal daun, kan?

Sayangnya, esai tidak seperti daun. Setidaknya, buat teman-teman yang belum terbiasa menulis, atau belum begitu suka membaca (masak sih?), apa yang disebut esai boleh jadi masih seperti hantu atau jin. Terasa ada, terlihat tidak. Kayak apa sih barangnya? Nah, itu sebabnya, itung-itung pemanasan sebelum kita sama-sama berlatih menulis esai, kita cari tahu dulu yuk, apa sih yang biasanya dipikirkan orang tentang esai.

Ke mana mencari definisi? Yang paling mudah, tentu saja, ke dalam kamus istilah. Karena kamus istilah sastra banyak banget, kita ambil saja salah satu di antaranya yang menurut kita kayaknya cukup representatif. Ayo, cari sana, di perpustakaan?

“Nggak ada, Pak. Skripsi melulu.”

Ya, sudah. Di tempat saya kebetulan ada A Glossary of Literary Terms susunan M.H. Abrams (Edisi Ketujuh, Heinle & Heinle, 1999). Eh, ngomong-ngomong, sering dengar nama Abrams, kan?

“Baru denger, Pak. Siapa sih?”

Waduh, untung Pak Teeuw tinggal jauh di Belanda, sudah sepuh pula. Untung Pak Pradopo menemani Mbak Sri di Yogyakarta. Coba, kalau Bapak-Bapak itu tahu bahwa teman-teman baru dengar nama Abrams, wah, bisa berabe nih.

“Udah, Pak. Jangan nakut-nakutin. Terangin aja.”

Begini. Setahu saya, Kakek Abrams itu salah seorang ahli sastra yang dulu mengajar di Cornell University, Amerika Serikat. Salah satu bukunya yang tersohor berjudul The Mirror and the Lamp (1953). Buku Glossary itu tadi pertama kali terbit pada 1957. Memang jadul banget sih, tapi sampai sekarang kayaknya itu Glossary masih sering dijadikan rujukan. Buktinya, buku itu terus dicetak ulang (tentu saja, dengan penambahan serangkaian entri baru dari tim penulis yang menanganinya). Nah, dalam urusan esai, kita merujuk ke situ saja, ya.

“[Esai adalah] segala karangan singkat dalam bentuk prosa yang dibuat untuk membahas suatu masalah, mengungkapkan suatu sudut pandang, meyakinkan kita agar menerima suatu tesis mengenai pokok bahasan apa saja, atau sekadar menghibur. Esai berbeda dengan ‘risalah’ atau ‘disertasi’ dalam arti tidak begitu dimaksudkan untuk menjadi pemaparan yang sistematis dan lengkap, dan lebih cenderung ditujukan kepada khalayak umum daripada kalangan terbatas; sebagai konsekuensinya, esai membahas masalahnya dengan cara nonteknis, dan seringkali secara leluasa menggunakan berbagai perangkat karangan seperti anekdot, ilustrasi mencolok, dan humor untuk menambah daya tariknya,” begitu antara lain yang diterangkan dalam Glossary (hal. 82).

[to be continued]

Membaca Sastra

Prose Appreciation, Week 2

Hawe Setiawan

Teman-teman,

Pekan ini kita akan berkenalan dengan Wolfgang Iser (1926-2007).

Kok kenalan? Orangnya kan sudah wafat. Tentu saja, kita akan berkenalan dengan hantunya. Tapi jangan takut. Hantu di sini bukan sembarang hantu, tapi “hantu” pemikiran. Pemikiran kan suka gentayangan kayak hantu. Orang yang mencetuskan pemikiran boleh saja mati, tapi pemikiran yang dia tinggalkan kayaknya akan tetap hidup sepanjang masa. Wah.

Tidak semuanya yang akan kita cari tahu. Kita hanya akan berkenalan dengan sekelumit pemikirannya tentang tindak membaca (act of reading).

Iser itu orang Jerman. Dia dikenal sebagai ahli sastra. Dalam studi sastra dia terkenal antara lain gara-gara pemikirannya yang suka disebut teori tanggapan pembaca (reader-response theory). Biasanya, dia juga ditempatkan dalam rumpun pemikiran sastra yang mengandalkan pendekatan fenomenologis. Adapun fenomenologi ---sederhananya--- adalah pemikiran filosofis yang menelaah cara hal-ihwal di sekeliling kita memasuki kesadaran kita. (Embahnya fenomenologi adalah Edmund Husserl [1859-1938], juga orang Jerman. Tapi jangan khawatir. Kita tidak akan tersesat ke hutan filsafat meski jalan-jalan ke sana asyik juga, sebetulnya).

Iser, tentu saja, menulis dalam bahasa Jerman. Namun, ada satu-dua bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Salah satu bukunya yang akan kita baca di sini berjudul The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response. Dalam versi aslinya, buku ini berjudul Der Akt des Lesens: Theorie Aesthetischer Wirkung, dan terbit pada 1976. (Pasti waktu itu teman-teman belum lahir. Buku ini jadul juga, ya).

Kita perlu membaca buku karya Engkong Iser supaya kita lebih paham dengan seluk beluk proses membaca karya sastra. Kita kan mau belajar apresiasi sastra. Mustahil dong kita terampil mengapresiasi karya sastra jika kita malas membaca. Pokoknya, novel, cerpen dan puisi perlu dibaca----buku Iser, juga.

OK, kita mulai dengan melihat, bagaimana sih Iser memahami pentingnya kegiatan membaca?

Dalam pengantar buku itu dia bilang, “Karena teks sastra hanya dapat menimbulkan tanggapan ketika teks itu dibaca, sepertinya mustahil kita menjelaskan tanggapan itu jika kita tidak menganalisis proses membaca. Karena itu, kegiatan membaca merupakan titik tolak studi ini, sebab dalam kegiatan membaca berlangsung seluruh rantai kegiatan yang bergantung baik pada teks maupun pada penerapan aspek-aspek tertentu pada diri manusia. Efek dan tanggapan tidaklah melekat pada teks maupun pada diri pembaca; teks hanya mengajukan efek potensial yang baru akan terwujud dalam proses membaca.”

Jangan bingung dulu. Rileks saja. Kalau kita sederhanakan, Iser mengajak kita untuk menganalisis proses membaca karya sastra. Bagaimana sih proses itu berlangsung? Kok bisa timbul efek dan tanggapan dalam diri pembaca ketika dia membaca karya sastra? Kayaknya, begitu.

Pertanyaan itu kita tunda dulu. Sekarang kita perhatikan bahwa tanggapan pembaca yang ditelaah oleh Iser disebut “tanggapan estetis” (aesthetic response). Itu sebabnya, teorinya pun dia sebut “teori tanggapan estetis” alias theory of aesthetic response. Istilah dari sononya, Wirkungstheorie. Yang menarik, teori Wirkung ini dia bedakan dengan teori sejenis yang disebut “teori resepsi estetis” alias theory of aesthetic reception alias Rezeptionstheorie.

Di mana bedanya Si Wirkung dan Si Rezeption? Kenapa nggak kompak?

Untuk menjawab soal itu, agaknya kita harus kembali lagi ke soal teks tadi. Menurut Iser, karena studi sastra pada dasarnya memperhatikan teks, sudah pasti dong apa yang berlangsung melalui teks itu pentingnya bukan main. Harap dicatat, Iser beranggapan bahwa karya sastra sebaiknya tidak dipandang sebagai catatan dokumenter mengenai sesuatu yang ada atau pernah ada. Karya sastra, katanya, sebaiknya dipandang sebagai “reformulasi mengenai realitas yang sudah terformulasi”.

Dengan kata lain, dalam pandangannya, karya sastra pada dasarnya merupakan upaya membentuk kembali kenyataan yang sudah punya bentuk. Taruhlah bahwa apa yang disebut “realitas” alias kenyataan itu sudah punya bentuk. Nah, karya sastra tidak merekam atau mencatat kenyataan itu begitu saja, tetapi mengolah kembali kenyataan sehingga kenyataan itu mendapatkan semacam bentuk baru.

“Konsekuensinya,” kata Iser, “teori tanggapan estetis dihadapkan pada masalah tentang bagaimana situasi yang sejauh ini belum terformulasikan dapat diproses dan, tentu, dipahami. Adapun teori resepsi, di pihak lain, selalu memperhatikan para pembaca yang sudah ada, yang reaksinya membuktikan pengalaman sastra tertentu yang sudah terkondisikan secara historis. Teori tanggapan berakar pada teks; sedangkan teori resepsi timbul dari sejarah penilaian para pembaca.”

Kayaknya, perbedaan antara teori tanggapan estetis dan teori resepsi estetis terletak pada pusat perhatiannya. Sederhananya, teori tanggapan estetis memperhatikan proses membaca karya sastra. Sedangkan teori resepsi estetis memperhatikan penilaian para pembaca yang telah membaca karya sastra. (Setidaknya, begitu kira-kira yang saya pahami. Teman-teman, tentu, bisa lain lagi pemahamannya).

Kalau begitu, urusan kita pekan ini adalah proses membaca karya sastra. Di sini kita kembali ke pertanyaan tadi: kayak apa sih proses membaca itu?

Di sinilah kita menghadapi soal pelik, sepelik yang dihadapi Iser sendiri. Pelik bagaimana? Ya, tentu saja, pelik bukan main kalau kita harus memaparkan tahap demi tahap yang dilalui orang yang sedang membaca karya sastra. Itu sama dengan memasuki relung-relung kesadaran manusia. (Mending kalau manusianya memang sadar. Coba kalau dia tidak sadar. Makin pelik, kan?)

Soal pertama yang bikin pelik tidak lain dari barang yang kita sebut teks itu sendiri. Ketika kita menghadapi sesusun teks, tidak mungkin kita dapat menyerap keseluruhan isinya pada saat itu juga. Situasinya agak berbeda dengan situasi ketika kita menghadapi suatu benda, misalnya sebongkah batu. Ketika kita melihat sebongkah batu, biasanya seketika kita dapat melihat ---atau setidak-tidaknya memikirkan--- keseluruhan wujudnya. Kalau kita melihat batu berarti kita berada di luar batu itu. Diri kita terpisah dari sang batu. Sedangkan kalau kita mambaca teks, sesungguhnya kita berada di dalam teks itu. Kita masuk ke dalam teks itu.

“Dengan demikian,” masih kata Iser, “relasi antara teks and pembaca tidak seperti relasi antara objek dan pengamat: ketimbang menjadi relasi subjek-objek, yang timbul adalah titik pandang yang bergerak, menelusuri bentangan di dalamnya, yang mesti dipahami.”

Ada lagi hal lain yang tak kurang peliknya: teks sastra tidak semata-mata mengacu kepada hal-ihwal (atau objek) yang sudah tersedia secara empiris. Memang, bisa saja teks sastra mengangkat hal-ihwal yang terdapat dalam dunia pengalaman manusia (alias dunia empiris), tapi sesungguhnya hal-ihwal tersebut mengalami semacam transformasi dalam teks sastra. Batu dalam sajak Sapardi, misalnya, sebetulnya tidak sungguh-sungguh dapat dibandingkan dengan batu di halaman kampus Unpas. Batu puitis bukan lagi batu denotatif---katakanlah, begitu. Jadi, kalau kita menemukan batu dalam puisi, kita tidak lagi berususan dengan apakah pelukisan batu itu seakurat batu di halaman kampus. Batu dalam puisi seakan-akan harus kita ciptakan sendiri dalam benak kita.

Lantas bagaimana dengan “titik pandang yang bergerak” (moving viewpoint) itu? Sederhananya, lagi-lagi, itu berkaitan dengan proses itu sendiri. Kata proses menyiratkan perjalanan waktu, dari satu titik ke titik lain, beringsut dari detik ke detik. Karena membaca merupakan proses, maka pandangan kita terhadap yang ada dalam teks juga bergerak. Dari kalimat ke kalimat, dari paragraf ke paragraf, dari bab ke bab, pandangan kita terus bergerak. Persis kayak tamasya.

Apa yang penting dicatat dalam proses seperti itu adalah upaya kita melakukan “sintesis” atas rincian teks yang secara bertahap kita cerap. Iser menyebutnya synthetizing process, yakni proses menyambungkan rincian demi rincian isi teks yang kita baca, sedemikian rupa sehingga pemahaman kita atas teks itu menjadi menyeluruh.

Dalam urusan inilah fenomenologi jadi penting. Iser sendiri menyebut uraiannya mengenai soal ini sebagai “fenomenologi kegiatan membaca” (phenomenology of reading).

OK, teman-teman, sekian dulu. Selebihnya, soal ini sebaiknya kita diskusikan di kampus.***

Friday 20 February 2009

A Fascinating Prose

By Deasy Ariyanti

Some people maybe do not know what prose is and how its form and type look like. For students at letters faculty, maybe it wouldn’t be so hard to understand or explain the definition, structure and differences among different literary works. Here I am trying to explain my understanding on prose as a literary genre.

Prose literally means “straight-away-directly”. Prose is something that shows a beautiful way to write or read, actually. In my opinion, prose is one of literary products that easier to be understood, even though it has some differences with other literary products but it has something interesting that makes it fascinating.

For instance, there are so many literary works, but we could divide it into two major categories: prose and poetry. Literary works, including prose, are novel, short story, drama, comic, etc.

There are several differences between prose and poem. In my opinion, prose uses daily speech (language that used in daily activity), the form of which is clause, using denotative meaning, prosaic, and emphasize clarity. It is so different with poem. Poem uses a poetic language, its form so tight, referring to connotative meanings (figurative language or metaphor).

In analyzing prose, I use a different way. In analyzing poem we are a little bit confuse in defining the meaning. Yet prose is different. When I read a prose, for example short story, I’m not only ”just reading it”, but also trying to understand what the author means, what kind of technique she applies, what about her character, plot, narrator utterances, figurative language, world view, theme and the message or impression inside.

In analyzing poem, I need to note the figurative language (the metaphor, character limbs, the semantic and syntax or maybe furthermore. We can also consider the intertext comparison, for example in reading the poem “Nyanyian Angsa” by Rendra, we can compare his character which is named Maria Zaitun with Mary Magdalena in the bible.

Two weeks ago I analyzed a short story. The title is “Kematian Paman Gober” (The Death of Uncle Gober), and the author is Seno Gumira Ajidarma.

I read that story because it was so interesting. I think Seno makes a new prose. He said prose or fiction could be a tool to explain and demonstrate our obsession!

Seno tried to make something different: how to describe and imagine the political situation in a certain era. He said, “If journalism is banned, literature will talk”. In his work, he described the main character Paman Gober just like the president of the “New Order”.

One thing that makes me surprised is—well, I don’t know how to say it—that I am confused. Is Uncle Gober a protagonist or antagonist character? On one hand, Seno imagined Uncle Gober as an antagonist character because he made a conversation between three ducks (Kwik, Kwek and Kwak) that want him to die soon. On the other hand, Seno imagined Uncle Gober as a protagonist. We can see it from the narrator utterances that “although the ducks want him to die soon, yet they all love him. Uncle Gober has power, strength, charisma and many other things that made him to be a super power and to be frightened person among the duck country.

Seno adapted the mess political situation into an easy way to understand a kind of short story. One thing that made the story so interesting situation is that the character is a well-known person: Uncle Gober is one of the well-known characters from Walt-Disney cartoon! And he described and changed the leader of the “New Order” into a Duck! What a funny thing!

That is my opinion. ***

Wednesday 18 February 2009

Catatan Kuliah

Writing for Publication

Teman-teman yang baik,

Hari ini kita mulai kuliah 'Writing for Publication'. Dalam pertemuan kita di kelas, kita baru membicarakan rencana materi perkuliahan selama satu semester ke depan.

Buku wajib yang disarankan oleh jurusan, yakni Pokoknya Menulis () karya Pak Chaedar dan Bu Senny, saya harap dapat dibaca oleh teman-teman. Buku tersebut dapat dicari dengan langsung menghubungi Bu Senny. Dari saya sendiri, ada dua buku lain yang saya harap dapat juga dibaca oleh teman-teman, yaitu Write to Publish (1999) karangan Vin Maskell dan Gina Perry serta Everyday Editing: Inviting Students to Develop Skill and Craft in Writer's Workshop (2007) karangan Jeff Anderson. Saya sendiri menggunakan kedua buku yang disebutkan terakhir dalam bentuk e-book. Teman-teman yang ingin membaca keduanya, dapat menghubungi saya.

Dalam pertemuan kita hari ini, saya antara lain menekankan bahwa kata-kata tidak menjadi kebenaran hanya karena diterbitkan. Artikel atau esai tidak menjadi kebenaran hanya karena dimuat dalam majalah dan koran. Dengan kata lain, ada hal yang sangat penting untuk dipikirkan sebelum kita buru-buru mempublikasikan tulisan kita melalui media massa. Hal itu tidak lain daripada tulisan yang kita buat sendiri: apakah tulisan itu sudah betul-betul sesuai dengan apa yang kita kehendaki? Apakah isinya sudah akurat? Apakah style tulisan itu sudah sempurna? Dsb.

Soal kedua yang saya tekankan adalah kenyataan yang menunjukkan bahwa setiap tulisan yang dipublikasikan melalui media massa sesungguhnya merupakan hasil kegiatan kolektif. Memang, yang muncul di depan publik, dan seringkali mendapat tepuk tangan, hanyalah si penulis artikel. Namun, sesungguhnya, di balik pemuatan karya itu terdapat sejumlah orang lainnya yang telah memberikan andil yang sangat penting: sekretaris redaksi, editor, dewan redaksi, korektor, lay-out men, desainer, pegawai percetakan, dll. Selama ini boleh jadi kita kurang begitu menyadarinya. Ada baiknya sekarang kita berupaya untuk semakin menyadari hal itu. Dengan kata lain, sebagai penulis, kita sebaiknya dapat bersikap sensitif terhadap sejumlah besar orang yang akan membantu proses kreatif kita.

Baiklah, sekian dulu pembicaraan kita untuk hari ini. Selamat berkarya.

Saturday 14 February 2009

SILABUS

SYLLABUS

2009

Course Title : Prose 2
Tutor : Hawe Setiawan, MSn.
Office : Jl. Taman Kliningan II/5 Bandung 40262,
Phone/Fax: 022-7310625
Residence : Jl. Sersan Bajuri 5 Bandung 40154, Phone: 022-2004390
Mobile Phone: 081931287147
E-mail : hawesetiawan@gmail.com
Meetings : Tuesday, 07.30 – 09.10 a.m.
Location : Unpas Campus, Jl. Setiabudhi 193 Bandung 40154

Course Description
This course is intended as a further study on literary composition by taking into consideration some elements of good writing, especially essay. It is also intended as an encouragement for students in building skills to compose writing in general and essay in particular.

Objectives of the Course
This course helps students to understand and master the art and craft of writing in general and essay in particular; read literary works; organize literary blog; write essay on literary works.


Required Texts

1. Judith Woolf, Writing about Literature (2005)
2. Richard Marggraf Turley, Writing Essays: A Guide for Students in English and Humanities (2000)


Weekly Agenda

• Week One
Definition of Essay; kinds of essay; instances of essay
• Week Two
Elements of Essay
• Week Three
Planning Your Essay: choosing your own topic, formulating your fundamental questions
• Week Four
Searching for sources
• Week Five
Writing the introduction
• Week Six
Writing the middle
• Week Seven
Writing the conclusion
• Week Eight
Improving your style
• Week Nine
Broadening your vision
• Week Ten
Blogging your projects


SYLLABUS

2009

Course Title : Prose Appreciation
Tutor : Hawe Setiawan, MSn.
Office : Jl. Taman Kliningan II/5 Bandung 40262,
Phone/Fax: 022-7310625
Residence : Jl. Sersan Bajuri 5 Bandung 40154, Phone: 022-2004390
Mobile Phone: 081931287147
E-mail : hawesetiawan@gmail.com
Meetings : Tuesday, 09.10 –10.50 a.m.
Location : Unpas Campus, Jl. Setiabudhi 193 Bandung 40154

Course Description
This course is intended as an encouragement for students in building skills to read literary works and write about literature.

Objectives of the Course
This course helps students to understand the act of reading, read literary works and criticize literary works.


Required Texts

1. Wolfgang Iser, The Act of Reading
2. Peter Stockwell, Cognitive Poetics: An Introduction (2002)
3. Francine Prose, Reading Like a Writer (2006)
4. Judith Woolf, Writing about Literature (2005)


Weekly Agenda

• Week One
The Act of Reading in the Study of Literature
• Week Two
The Problem of Meaning in Literature
• Week Three
Texts and Their Contexts
• Week Four
Critical Reading and Reading the Critics
• Week Five
Background Reading
• Week Five
Researching Literary Works
• Week Six
Using Search Engine in Doing your research
• Week Seven
Using Dictionary and Encyclopedias in Literary Study
• Week Eight
Choosing your own topics for literary criticism
• Week Nine
Writing your essay on literary works

RENCANA KULIAH

Para mahasiswaku yang baik,

Selamat datang kembali ke kampus. Mudah-mudahan, masa liburan Anda menyenangkan. Saya juga mengucapkan terima kasih atas kepercayaan Anda pada saya dalam proses belajar dan mengajar selama semester ganjil yang baru saja berlalu, yakni dalam mata kuliah ‘Introduction to Literature’, ‘Introduction to Prose’ dan ‘Prose 1’.

Selain itu, saya mohon maaf sekiranya daftar nilai akhir untuk ketiga mata kuliah itu terlambat disampaikan kepada Anda, karena selama dua minggu terakhir saya terbaring sakit akibat terserang herpes. Alhamdulillah, kini saya sudah pulih lagi, dan akan memeriksa hasil ujian Anda sesegera mungkin. Saya harap, Anda dapat memaklumi hal ini.

Pada semester genap tahun ini saya ditugaskan untuk menemani Anda sekalian dalam tiga mata kuliah. Ketiga mata kuliah itu adalah:

1. Prose 2
2. Prose Appreciation
3. Writing for Publication

Khusus menyangkut mata kuliah ‘Writing for Publication’, saya ditugaskan sebagai asisten Prof. Chaedar Alwasilah. Materi yang akan saya sampaikan di kelas, tentu, akan sedikit banyak bergantung pada konsultasi dengan beliau.

Silabus perkuliahan yang telah saya susun, dapat Anda periksa di sini. Sekiranya dari silabus itu ada hal-ihwal yang membingungkan, jangan sungkan-sungkan untuk segera memberi tahu saya melalui blog ini atau melalui pertemuan kita di kampus.

Bagi teman-teman yang tertarik menekuni bidang tulis-menulis, dan ingin mempublikasikan karya yang telah dihasilkan, silakan mengirimkan file karya Anda kepada saya melalui e-mail: hawesetiawan@gmail.com.