Thursday, 26 February 2009

Belajar kepada Klein

Jurnalisme Sastra, Minggu 1

Hawe Setiawan

Naomi Klein mendapatkan Hadiah Warwick senilai 50.000 foundsterling atas bukunya, The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism (2007). Ia merupakan penulis pertama yang diberi hadiah buku dua tahunan dari Warwick University itu.

Juri hadiah itu, seperti dikutip dalam situs warta The Guardian, menilai karya Klein sebagai “investigasi tertulis yang cemerlang, provokatif dan luar biasa mengenai sejumlah kegemparan dahsyat pada zaman kita”.

Klein dikenal sebagai jurnalis, pengarang dan pembuat film. Ia menulis karya jurnalistiknya antara lain untuk suratkabar The Nation dan The Guardian serta majalah Harper’s. Pernah ia membuat film dokumenter mengenai pabrik-pabrik di Argentina. Bukunya yang pertama, No Logo: Taking Aim at Brand Bullies, diterjemahkan ke dalam 28 bahasa. Dari University of King’s College, ia mendapatkan gelar doktor honoris causa di bidang Hukum Sipil.

“Saya mulai meneliti ketergantungan pasar bebas pada kekuatan kejutan empat tahun lalu, dalam hari-hari pertama pendudukan atas Irak. Setelah melaporkan kejadian dari Bagdad mengenai upaya Washington yang gagal untuk mengiringi Kejutan dan Guncangan dengan terapi kejut, saya pergi ke Sri Lanka, beberapa bulan setelah tsunami tahun 2004 yang menimbulkan kehancuran besar itu, dan menyaksikan versi lain dari manuver yang sama: para investor asing dan pengelola lembaga keuangan internasional bergabung untuk memanfaatkan suasana bencana buat mengalihtangankan kawasan pesisir yang indah itu kepada para pengusaha yang segera membangun tempat-tempat peristirahatan mentereng, menghalangi ratusan ribu nelayan yang ingin membangun kembali desa mereka di tepi laut. ‘Dalam pusaran nasib yang berat, alam memberi Sri Lanka kesempatan unik, dan dari tragedi besar ini akan muncul tempat tujuan wisata bertarap dunia,’ demikian pernyataan pemerintah Sri Lanka. Pada waktu Badai Katrina menerpa New Orleans, dan para politisi kubu Republik, perumus kebijakan serta developer bangunan mulai bicara tentang ‘lembaran bersih’ dan peluang menawan, terlihat benar bahwa inilah saatnya bagi metode terpilih dalam pengembangan tujuan-tujuan perusahaan: memanfaatkan saat-saat trauma kolektif untuk melancarkan rekayasa sosial dan ekonomi yang radikal,” tutur Klein dalam The Shock Doctrine.

Begitulah, pada gilirannya, laporan jurnalistik Klein menjadi gugatan tersendiri atas janggalnya tata ekonomi dan sosial dunia dewasa ini. Dalam laporannya terlihat bahwa para penguasa politik dan pengendali ekonomi ---dalam pepatah Melayu--- memancing di air keruh, mencari-cari kesempatan dalam kesempitan. Penderitaan sesama manusia, yang timbul dalam serangkaian bencara besar, sesungguhnya tidak ditolong, tapi justru malah dibisniskan. Inilah, kiranya, yang oleh Klein disebut “kapitalisme bencana” (disaster capitalism).

Buat siapa saja yang mempelajari jurnalisme, tak terkecuali jurnalisme sastra, paling sedikit ada tiga pelajaran penting dari keberhasilan Klein. Pertama, untuk mendapatkan topik jurnalistik, ia mengadakan penyelidikan di lapangan selama sekian tahun. Ia masuk ke daerah-daerah bencana, mewawancarai para korban dan orang-orang lain yang kegiatannya terpaut pada tindakan kolektif pascabencana. Kedua, jelas ia piawai menuliskan hasil-hasil investigasinya, sepiawai sastrawan menulis novel, dengan wawasan keilmuan yang sangat luas, sikap kritis yang amat tajam dan simpati kemanusiaan yang terpelihara. Ketiga, karya jurnalistiknya dapat menggugah kesadaran dan pikiran banyak orang karena mampu memperlihatkan hal-ihwal yang janggal pada tatanan global, dan karena itu mampu mendorong upaya-upaya untuk memperbaiki kehidupan sesama manusia.***

3 comments:

  1. Berarti untuk membuat karya Seni Jurnalistik tidak bisa dengan waktu yang singkat. Jadi apakah bisa membuatnya dalam waktu yang singkat.

    kemudian saya masih bingung dengan definisi Jurnalaistik sastrawi. karena seperti yang diungkapkan oleh akang, hal itu bertolak belakang. kemudian siapakah yang pertama kali mulai menggunakan istilah tersebut?. saya lebih setuju dengan usul teman Hafid yang menggunakan Seni Jurnalistik.

    Ditunggu gebrakannya Kang.

    ReplyDelete
  2. Memang terbayang betapa sulitnya mengerjakan tugas jurnalistik, terlebih-lebih yang berpretensi memiliki dimensi sastra, dalam waktu yang singkat. Tapi, saya kira, itulah tantangan buat kita: sejauh mana kita dapat bekerja secara kreatif dalam waktu yang serba singkat dan dalam ruangan yang serba sempit.

    Istilah 'literary journalism' memang terasa seperti contradictio in terminus; seperti bertolak belakang dalam dirinya sendiri. Tapi kesan seperti itu hanya akan timbul apabila kita cenderung mengasosiasikan istilah "sastra" dengan fiksi atau cerita rekaan, dan istilah "jurnalisme" dengan rekaman faktual atas kenyataan. Tapi, sebetulnya, sastra dan jurnalisme tidak dapat dipisahkan, dalam arti bahwa keduanya sama-sama bertopang pada keterampilan dan kepekaan mengolah bahasa. Dalam hal itu aspek kreativitas (sang jurnalis) sangat diandalkan.

    Saya sendiri belum tahu, siapakah yang pertama kali memakai istilah "literary journalism". Mungkin dalam beberapa waktu mendatang, saya dapat menemukan jawabannya. Yang pasti, kita tidak perlu terjebak dalam kerumitan istilah atau definisi. Yang lebih penting, saya kira, adalah ikhtiar kita bersama untuk meningkatkan kemampuan mengamati realitas kehidupan sehari-hari dan mengungkapkannya dalam karya jurnalistik yang menarik.

    ReplyDelete
  3. Kang, ilmu jurnalistik dan contentnya banyak menganut dan mengadopsi ilmu2 dari barat, sejauh ini fungsi dan peran jurnalsitik dalam perkembangan dunia islam sejauh mana?? - terutama jurnalistik sastrawi tentunya.

    ReplyDelete